Apakah yang tidak menjadi sesuatu yang sehari-hari kini? Disuburkan oleh bantuan kemajuan teknologi, terutama teknologi informasi, kini individu sama berdayanya dengan institusi besar, yang bernama negara sekalipun. Dengan memobilisasi opini lewat twitter misalnya, remaja cerdas dan iseng dari ruang kamarnya bisa mementahkan opini pejabat-yang kemudian menjadikan si pejabat tampak dungu dan tolol. Tidak ada yang lebih sial daripada menjadi pejabat di masa kini. Dalam semua hal, batas-batas meleleh, baik batas antara yang serius dan main-main; sungguhan dan iseng; seni dan bukan seni; sampai antara yang profan dan imanen. Inilah zaman dimana kita hidup sekarang.
Sukses pentas Indonesia Kita dari para seniman Yogyakarta yang menjadi rutin tahun-tahun belakangan, menegaskan kuatnya gejala peleburan batas antara yang sungguh-sungguh dan main-main tadi, antara realitas dan banyolan, serta antara panggung dan kehidupan nyata keseharian kita. Dalam Indonesia Kita, kita berhadapan dengan para seniman yang piawai mengelola peleburan batas tersebut.
Bagaimana itu bisa terjadi? Di kotanya sendiri, Yogya, mereka adalah orang-orang yang nglotok dengan kehidupan panggung. Dari panggung teater modern sampai panggung pertunjukan rakyat seperti ketoprak. Dalam membikin segar pertunjukan panggungnya, mereka terbiasa menampilkan isu sehari-hari yang mereka lakoni bersama. Istilah kerennya: dagelan yang sifatnya esoterik. Lucu, setidaknya bagi kalangan mereka sendiri. Orang akan terpingkal-pingkal misalnya, ketika pemain di panggung menyebut Pasar Kembang, Posyandu, yang niscaya sangat dipahami lucunya secara bersama, karena di situ terdapat pengalaman kolektif Butet Kartaredjasa dan teman-temannya.
Dengan modal di atas, mereka kemudian luaskan produksi panggungnya, menjadi pentas Indonesia Kita yang secara rutin tampil di Jakarta. Rumusnya sama, yakni mengolah sesuatu yang sehari-hari menjadi tontonan menyegarkan. Mereka mengajak penontonnya mengambil jarak dengan kesehariannya, mengolok-oloknya, kadang disertai pandangan kritis terhadap realitas sosial-politik yang melingkupi kita bersama.
Kali ini mereka menampilkan lakon Nyonya-Nyonya Istana. Mereka beranggapan—sebagaimana anggapan masyarakat umum–bahwa di balik laki-laki kuat ada perempuan hebat (jangan dibalik, karena di balik perempuan-perempuan hebat umumnya ada suami -suami malas). Di situlah mereka akan membikin karikatur dari kehidupan para wanita hebat itu, para sosialita kita, yang dari kehidupan sehari-harinya saja sudah kita pahami lucunya. Mereka yang dekat dengan kalangan ini akan tahu belaka, tak jarang wanita yang tampak sumringah itu sebetulnya jablay, sok naif dan imut, padahal sebelumnya memang kuper, tasnya bermerek dan mahal dari tempat persewaan, dan seterusnya.
Dalam pentas mereka di Jakarta, umumnya Indonesia Kita menampilkan bintang tamu yang terdiri dari para pesohor. Untuk pentas kali ini mereka menampilkan para bintang tamu, para wanita urban, ada yang dari Jakarta, sampai ada pula yang didatangkan dari Paris, seperti The Jais Darga itu.
Entah bagaimana mereka, para wanita cantik dan makmur itu, bersedia untuk naik panggung. Padahal bisa dibayangkan, di panggung mereka bakal dijadikan bulan-bulanan Butet, Susilo alias Den Baguse Ngarso yang terkenal di Yogya, dan lain-lain. Mereka akan dijadikan bahan ger-ger-an. Ini mengingatkan dagelan a la Srimulat di masa jayanya, tahun 1980-an. Di panggung selalu dihadirkan wanita cantik. Mereka tak perlu melucu. Dalam rumus pimpinan Srimulat kala itu, Teguh, situasi itu sendiri sudah lucu karena aneh.
Yang perlu diingatkan bagi para sosialita yang naik panggung ini, bisa jadi mereka sendiri bakal tak bisa menahan tawa, sampai pipis di celana. Pesan saya, jangan lupa bawa cadangan celana dalam.
Bre Redana
wartawan dan sastrawan
(gambar ilustrasi oleh: Toni Malakian)