Kisah ini berlatar kelompok Wayang Wong, yang sedang di ambang persimpangan jalan. Sebagai kelompok seni tradisional, mereka sudah mulai ditinggalkan penonton. Semar, Bagong, Petruk, Gareng, kini lebih banyak nganggur dan mencari kegiatan di luar tobong. Bahkan karena tekanan ekonomi, para pemain wayang orang itu kerap ngamen di perempatan jalan dengan pakaian Semar, Gareng, Petruk, Bagong, dan bertemu dengan kelompok badut yang juga mengamen di lampu merah.

Kenyataannya kelompok badut yang mengamen itu lebih banyak disukai dan lebih menghasilkan banyak uang. Itu juga menjadi kegelisahan Putra Pemilik Wayang Orang. Zaman sudah berubah, setiap generasi mesti mencari jalannya sendiri.

Maka Putra Sang Maestro tak mau mengikuti jejak dan warisan ayahnya. Ia pingin menemukan jalan hidupnya sendiri, mejadi seniman badut. Setiap profesi yang dijalani dengan penuh cinta dan dedikasi, pasti adalah profesi yang mulia dan terhormat. Ia yakin, profesi badut pun seperti itu. Memang, selama ini ada anggapan miring soal badut. Dianggap hanya seni murahan. Hanya pengibur. Sering dipandang rendah dalam dunia kesenian dan kebudayaaan.

RAGAM

FP-KuasaTanpaRasa

Kuasa tanpa Rasa

Kuasa sesungguhnya alat kebaikan yang dipergunakan untuk menyingkirkan keburukan. Penguasa yang luhur budi akan senantiasa menjadikan kuasa sebagai amanah untuk menjunjung tinggi keadaban mulia, kemanusiaan, persatuan, keadilan, dan kesejahteraan sosial.

Lukman Hakim Saifuddin

tombolselengkapnya

PANGGUNG SEBELUMNYA