Primadona tak pernah lekang digerus zaman. Kehadiran sosok perempuan utama di panggung teater modern Indonesia turut mengukir dinamika tersendiri di jagad kesenian ini, selain  sebagai refleksi kebudayaan di masa lampau. Di atas panggung, para primadona mampu menjadi daya pukau. Tidak hanya kecantikan, namun keahlian menari, berakting hingga bernyanyi menjadi magnet tersendiri bahkan kerapkali mereka menjadi simbol utama.

Mengenang para primadona ini tentu memiliki keterkaitan erat dengan kelompoknya. Kilas balik seni pertunjukan teater modern di mulai jauh sejak Indonesia mengecap kemerdekaan. Pada masa kolonial, lahir sebuah bentuk teater hibrida atau teater ala stamboel.

Mathew Isac Cohen dalam The Komedie Stamboel: Popular Theater in Colonial Indonesia, 1891-1903 menjelaskan bahwa kisah perjalanan teater modern Indonesia sesungguhnya di mulai sejak tahun 1891. Karena pada tahun itu pagelaran stamboel sangat dikenal masyarakat.

Pada tahun 1891 muncul hiburan baru di kota-kota besar di Jawa yaitu Komedie Stamboel. Didirikan oleh August Mahieu (1860-1906), seorang Indo-Prancis kelahiran Surabaya. Cerita-cerita yang dimainkan umumnya diambil dari kisah 1001 malam, dongeng peri dari Eropa, dan cerita-cerita opera seperti Putri Tidur dan Aida. Berdirinya kelompok tersebut tidak dapat dipisahkan dari peranan saudagar keturunan Turki bernama Jaffar.

Kelompok Komedie Stamboel merupakan representasi teater rakyat kota yang terdiri dari bermacam-macam ras. Tidak dapat dipungkiri bahwa Komedie Stamboel menjadi persentuhan dan persilangan ras serta budaya. Komedi Stamboel bertujuan untuk menghibur dengan adegan-adegan yang lucu dan pementasan mereka yang berpindah-pindah kota untuk satu kali lakon bisa selesai satu atau dua hari.  Pada tahun 1906 Komedi Stamboel ditinggalkan pendirinya August Mahieu. Biarpun Komedie Stamboel bubar, pengiat teater stambulan tetap meneruskan tradisi selanjutnya.

Dua perkumpulan besar sandiwara selanjutnya berdiri pada 1925 dan 1926, Miss Riboet Orion dan Dardanella. Mereka merombak beberapa tradisi yang telah lazim pada masa Stamboel, bangsawan dan Opera. Miss Riboet Orion mengalami masa kejayaan setelah masuk seorang wartawan bernama Njoo Cheong Seng dan istrinya Fifi Young. Perkumpulan ini meninggalkan cerita-cerita khayalan yang pada masa Stamboel dan bangsawan lazim digunakan.

Njoo Cheong Seng  menjadi tangan kanan Tio Tek Djien dan menghasilkan cerita-cerita menarik dan isterinya Fifi Young membuat Miss Riboet Orion semakin berjaya. Fifi sangat populer dengan hidung bangir, kulit putih dan tubuh semampai dengan keterampilan peran dan menari. Fifi Young bernama asli Tan Kim Nio, lahir di Sungai Liput, Aceh, 12 Februari 1915 dari ayah Prancis dan ibu peranakan Tionghoa-Aceh. Fifi menikah dengan Njoo Cheong Seng ketika usia 14 tahun dan menjadi pasangan yang selalu saling mengisi dalam berkesenian. Ketika tampil di Kuala Lumpur, Gubernur Selangor yang kerap menonton pertunjukan grup sandiwara kenamaan Miss Riboet Orion memimpin seruan: “One, two, three, we want Fifi.” Sayangnya, riwayat Miss Riboet Orion berakhir pada 1934, ketika Njoo Cheong Seng dan Fifi Young berpindah ke Dardanella.

Selain Fifi Young dan Miss Riboet Orion II salah satu primadona di Dardanella adalah Devi Dja atau dikenal dengan Miss Dja. Devi Dja berangkat dari keluarga Jawa yang miskin. Pada suatu saat, ketika mereka sedang mengamen di daerah Banyuwangi, Jawa Timur, di waktu yang bersamaan kelompok Dardanella juga sedang mengadakan pertunjukan. Kemudian di suatu tempat, tanpa disengaja Piedro melihat Devi Dja sedang mengamen bersama kakek dan neneknya. Piedro mengaku tertarik dengan Devi Dja yang bernama asli Soetidjah dan langsung melamarnya. di usianya yang ke 16, ia mulai bersinar sebagai bintang, ketika itu pemeran utama wanita Dardanella, Miss Riboet II jatuh sakit. Soetidjah pun didaulat memerankan tokoh Soekaesih. Akting Soetidjah cukup meyakinkan.

Catatan Ramadhan KH dalam “Gelombang Hidupku: Devi Dja dari Dardanella (1982). Pengalaman Devi Dja dari Dardanella, bukan hanya pengalaman hilir mudik tampil di atas panggung di pelbagai kota di Indonesia dari bagian Barat hingga ke  Timur, melainkan pengalaman hidup mereka menjadi anak panggung dan kehidupan itu sendiri.

Suatu ketika rombongan ini sedang bermain di luar negeri dan terjadi percekcokan yang akhirnya menyebabkan Devi Dja memutuskan untuk meninggalkan Dardanella dan menetap di Amerika Serikat. Hal ini justru memberikan kesempatan yang berharga dengan kontribusinya sebagai seniwati Indonesia . Pada tahun 1951 Devi resmi menjadi warga negara Amerika, sepanjang karirnya ia bermain dalam beberapa film Hollywood dan sepanjang hidupnya ia membuktikan kecintaanya pada Indonesia lewat tarian, dunia panggung dan peran. Devi Dja kemudian meninggal di Los Angeles pada tanggal 19 Januari 1989 dan dimakamkan di Hollywood Hills, Los Angeles.

Ramadhan KH dalam bukunya menulis, sewaktu tanda penghargaan disematkan padanya dalam “Rose Parade” di Pasadena tahun 1970, ia memanggil putrinya: Ratna “Ini Ratna, bacalah!” Penghargaan bagi kalian, bagi kita. “Ya Mamah. Lain kali kita harus mempertunjukkan sesuatu yang lebih bagus lagi”

Air mataku menetes lagi, kata Devi Dja. Entah mengapa. Barangkali karena cintaku sedemikian besar kepada sesuatu yang jauh daripadaku. Aku tidak bisa melepaskannya. Tidak bisa! Seluruh hatiku tercurah baginya. Indonesiaku, engkau jauh di mata, tetapi senantiasa dekat di hatiku, bahkan menggelepar hidup di dalam jantungku. 

 

Ratu Selvi Agnesia

(gambar ilustrasi oleh: Toni Malakian)

Tulisan di atas merupakan kolom ragam pada pertunjukan Indonesia Kita: Nyonya Nomor Satu