Musik krontjong yang kita kenal saat ini telah berusia lebih dari tiga setengah abad. Sejarahnya diawali dari kedatangan Portugis ke Maluku pada abad ke-16 untuk berdagang rempah-rempah. Mereka mendirikan loji di pulau Banda yang dijaga oleh laskar Portugis asal Goa, India. Pada abad ke-17 ketika VOC menduduki pulau Banda, sebuah kapal yang ditumpangi laskar Goa beserta keluarga asal Banda karam di lepas pantai Batavia dalam pelarian mereka ke Malaka. Mereka ditangkap VOC lalu dibuang ke kampung Toegoe, dan membentuk komunitas Toegoe. Mereka mewarisi budaya Portugis moresco dan cafrinho, dan kerajinan membuat gitar. Karena letak kampung Toegoe yang terisolasi mereka menghibur diri dengan menyanyi diiringi gitar. Mereka menamakan gitar itu krontjong, karena berbunyi tjrong. Melalui gitar yang mereka mainkan lahirlah musik krontjong, membawakan fado Portugis berupa moresco dan cafrinho. Tarian moresco merupakan warisan orang Moor Islam dari Afrika utara, sedangkan tarian cafrinho dibawa oleh para budak kulit hitam dari Afrika barat. Dalam pelayaran ke Timur, Portugis memperkenalkan moresco dan cafrinho pada penduduk Goa yang diterima sebagai laskar Portugis setelah mereka menjadi Katolik dan mengadaptasi budaya Portugis. Tidaklah mengherankan bilamana komunitas Toegoe asal Goa berhasil menghidupkan kembali moresco dan cafrinho, sebagai prototipe musik krontjong yang dikenal sebagai Krontjong Toegoe.
Pada abad ke-19, musik krontjong mulai dikenal penduduk kota Batavia melalui penampilan orkes krontjong dalam perayaan Pasar Malam Gambir, yang didukung oleh pemerintah Hindia Belanda dan masyarakat urban non-pribumi. Komunitas Indo-Belanda di kampung Kemajoran turut mempopulerkan krontjong melalui penampilan mereka sebagai pemusik jalanan. Mereka menamakan diri sebagai pemusik de Krokodilen atau buaya krontjong, predikat yang kemudian juga diberikan kepada para pemusik krontjong setelah masa kemerdekaan. Krontjong menjadi musik populer perkotaan Batavia dengan lagu krontjong dalam bahasa Belanda atau campuran bahasa Melayu. Syairnya menggambarkan kehidupan para sinyo Indo-Belanda dan kisah pertjintaan mereka, seperti lagu Oud Batavia, Schoon ver van jou, Sarinah, dan Waarom huil, sedangkan moresco menjadi satu-satunya lagu yang masih dinyanyikan dalam bahasa Portugis. Orkes krontjong bermunculan di pelosok Batavia, Passer Baroe menjadi pusat penjualan alat musik krontjong, ukulele, gitar, mandolin, biola, cello dan bass dalam membentuk sebuah orkes krontjong yang terkadang ditambahkan dengan hawaiian guitar, seperti pada OK Lief Java.
Memasuki abad ke-20 musik krontjong telah tersebar di kota-kota besar di Jawa seperti Bandoeng, Semarang, Djogdja, Solo, dan Soerabaja, disiarkan oleh Radio NIROM yang juga menggelar concours (lomba) krontjong. Koesbini, seorang buaya krontjong dari Djogja pada tahun 1933 menciptakan lagu Kr. Moritsku dengan syair bahasa Melayu, terinspirasi dari lagu Moresco berbahasa Portugis dalam concours krontjong di pasar malam Jaar Markt Soerabaja. Koesbini menulis Kr. Moritsku dalam format da-capo aria sepanjang 28 birama yang diselingi 2-3 birama interlude secara instrumental. Lagu Kr. Moritsku kemudian menjadi prototipe lagu jenis krontjong asli seperti Kr. Bandar Jakarta, Kr. Kemayoran, Kr. Pemuda Pemudi, Kr.Sapulidi, Kr. Panggilan Pertiwi, dan Kr. Irama Malam. Koesbini juga berhasil membakukan format orkestrasi krontjong sebagai replika dari gamelan Jawa yang berpengaruh pada pola ritmik krontjong yang khas melalui permainan cello petik, ukulele, dan gitar. Ketika Jepang masuk pada tahun 1942, lembaga Keimin Bunka Shidosho melarang pementasan musik krontjong karena dianggap sebagai warisan budaya Belanda. Beruntung saat itu Gesang, seorang buaya krontjong dari Soerakarta pada tahun 1940 berhasil menciptakan lagu Bengawan Solo, yang syairnya menggambarkan legenda keindahan pastoral Jawa dalam format langgam berbentuk pantun. Lagu Bengawan Solo berhasil menarik perhatian Jepang yang kemudian membuka kembali concours krontjong di Solo pada tahun 1944. Seusai perang, tentara Jepang membawa pulang Bengawan Solo dan menjadi lagu yang populer di Jepang. Lagu Lgm.Bengawan Solo juga menjadi prototipe lagu jenis langgam krontjong, seperti Lgm.Gambang Semarang, Lgm. Jembatan Merah, Lgm. Saputangan, Lgm. Rangkaian Melati, Lgm. Ditepinya Sungai Serayu, dan Lgm. Di bawah Sinar Bulan.
Setelah Indonesia merdeka, pembinaan musik krontjong dilakukan oleh lembaga penyiaran RRI, yang untuk memperingati Hari Radio sejak tahun 1951 menggelar acara pemilihan Bintang Radio termasuk jenis krontjong, yang kemudian bergabung dengan TVRI mulai tahun 1964. Dari forum ini lahirlah para bintang penyanyi krontjong seperti Masnun, Sayekti, Rita Zahara, Waldjinah, Hetty Koes Endang dan Sundari Sukoco. Selanjutnya untuk mempromosikan pengenalan budaya Indonesia dalam New York World’s Fair tahun 1964, OK Tetap Segar asuhan Rudi Pirngadie tampil pada anjungan Indonesia, menggelar musik krontjong beat yang mengiringi lagu-lagu Barat dalam irama krontjong, dibawakan oleh para penyanyi yang pernah menjuarai Bintang Radio. Sejak itu krontjong dikenal dunia sebagai musik Indonesia yang berawal dari moresco dan cafrinho. Apabila moresco mengalami proses indonesianisasi menjadi Kr. Moritsku, maka cafrinho yang berbahasa Portugis hanya terdengar di kampung Toegoe. Sejarah menyaksikan bahwa cafrinho ternyata lebih populer di tanah Melayu, dikenal dengan sebutan dendang Kaparinyo, yang juga menyebar ke Minangkabau melalui musik gamad, atau krontjong versi Melayu.
Krontjong mengalami masa surut dengan lahirnya musik rock yang mendunia sejak tahun 1960, menggunakan perangkat drum perkusi yang digemari anak muda. Krontjong menjadi tidak nyaman terdengar di telinga generasi muda karena tidak menggunakan pukulan drum, selain hanya mengandalkan pada petikan cello dan bass. Sejarah juga mengatakan bahwa krontjong pernah menjadi musik pengantar dalam pertunjukan teater komedi bangsawan, yang meski komedinya mengalami kepunahan lagunya masih tetap eksis dalam stambul krontjong. Upaya inovasi terhadap krontjong telah banyak dilakukan agar musik krontjong senantiasa akan terdengar sepanjang masa. Salah satu dari inovasi krontjong dengan kreativitas yang noveltis datang dari Yogyakarta, yang dapat kita saksikan malam ini melalui penampilan Sinten Remen asuhan Djaduk Ferianto. Selamat menikmati.
Victor Ganap
(gambar ilustrasi oleh: Toni Malakian)