Puluhan ribu tulisan, baik ilmiah maupun laporan jurnalistik, telah ditulis tentang seni pertunjukan pulau yang konon ramai akan dewata ini. Bagus, indah, feminin, diilhami jiwa kolektif, unik, eksotik, kata-kata yang digandengnya selalu “wah”, dan selalu menekankan “kelainan” yang “ulung” dari Bali dan seni pertunjukannya. Seolah “harus” bagus nan berbeda, demi menampilkan kekhasannya, eksotik yang intrinsik padanya.
Memang, seperti halnya wanita cantik, Bali seakan tak ada pilihan lain, selain melihat dirinya melalui mata orang luar, apakah turis asing, ataukah pejabat pemerintah Indonesia. Untuk yang pertama, Bali wajib eksotik, wajib menampilkan suasana mistis-religius yang telah lama menghilang dari peradaban modern. Untuk yang kedua, Bali sebaiknya wajib memberikan “wujud” nyata suatu masa lalu bangsa, Majapahit, yang seakan tetap berlangsung secara tak berkeputusan.
Akibat “kewajiban” di atas, yang diwariskan dari penjajahan dan dipertegas oleh Orde Baru, bisa jadi, inilah yang memperlihatkan kenyataan bahwa seni budaya Bali, khususnya seni pertunjukannya, terlalu berat sebelah ke “budaya” dan kurang ke “seni”. Budaya dianggap “harus” mewujudkan inti-sari dari entitas atau substansi dari kebangsaan, suatu warisan yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapa pun. Dengan demikian, daya cipta dibebani fungsi “pencitraan” yang tidak hanya sejatinya asing pada kebudayaan agraris yang telah melahirkannya, tetapi yang juga membebani kebebasan dan dinamikanya. Oleh karena itu, “seni” harus takluk pada “budaya”. Peran pegiatnya diminorkan, kecuali bila sudah disahkan sebagai maestro. Yang terakhir ini dianggap mengejewantahkan keajegan budaya dan keluhuran “jiwa bangsa”, sedangkan para “seniman” dipersepsikan mengancam keajegan tersebut—konon suka berteriak dan jarang mandi. Cukup kita menghadiri pembukaan acara-acara budaya untuk memahami letak masalahnya: sementara sang budayawan, pejabat atau tokoh berkoar-koar tentang keluhuran budaya bangsa, para seniman menguap letih, merasa sudah hapal isi pidatonya. Mengapa demikian? Tiada lain karena ragam budaya yang senantiasa disanjung-sanjung oleh pembuka acara adalah warisan kultural, yaitu segi konservatif dari kultur, bukan ciptaan baru, segi dinamis dan progresif yang menjadi watak “seni”.
Maka menjadi gamblang: kebuayaan yang hanya mengabdi kepada kekuasaan—apakah itu “kekuasaan ekonomi” dari para turis asing atau kekuasaan politik dari para pejabat—adalah kebuayaan yang terancam mandul. Agar terhindar dari itu, tidak ada cara yang lain daripada memberi ruang atau “merawat” seniman yang “suka berteriak dan jarang mandi”. Seniman itu berfungsi “menyadarkan” membuat produk budaya melekat pada situasi sosial yang real, bukan situasi yang mistis.
Saya tidak tahu apakah Agus Noor adalah seniman yang “kurang mandi” itu, tetapi tak disangkal bahwa pentas Roman Made in Bali garapan bersama dengan Putu Fajar Arcana—adalah bagian dari produk ‘seni penyadaran” yang dimaksudkan membuat produk seni yang melekat pada situasi sosial yang “real” itu. Apalagi tema yang diangkatnya menyangkut hubungan antara wanita lokal dan pria asing di Bali.
Dimanapun di dunia, kontrol atas tubuh, sikap, hak dan penampilan wanita, adalah pokok utama dari kebudayaan: pada satu sisi akan ditelanjangi dan tubuhnya dijadikan ajang konsumsi utama masyarakat; di sisi lain akan ditutupi, dan tubuh fisik, visualnya dijadikan sarana reproduksi seksual ekslusif suaminya. Tetapi bagaimanapun juga, cara suatu masyarakat mengonstruksi dan mengkader kaum wanitanya memberikan gambaran yang paling jelas atas budayanya. Atas ragam patriarki—absolut, akut, atau ringan—yang mengkungkungnya.
Untuk hal di atas ini, Bali merupakan suatu medan ideal. Secara historis dan antropologis, patriarki berakar sangat kuat di dalam sistem adat dan tata nilainya. Otonomi kaum wanita terbatas. Secara ekonomi, wanita tidak ada akses pada warisan orang tua, dan secara seksual/reproduksi, pilihan partnernya terbatas: dia “diambil”, kadang secara paksa (oleh raja, akibat pelegandang/ngejuk) dan beralih dari kontrol sang ayah ke kontrol sang suami.
Meskipun demikian, tubuhnya—bila dibandingkan situasi di budaya Islam dan budaya Barat—bukanlah tubuh yang kelewat “diseksualkan”. Tubuh itu hadir relatif terbuaka—bertelnjang dada, dll—tanpa disertai wacana “moral” di seputarnya.
Intrusi asing di dalam konstruksi gender seperti itu jelas bersifat sangat traumatis. Kekalahan politik—usai intervensi Belanda—dan “kekalahan” ekonomi—akbiat pariwisata—yang dialami Bali telah mengubah keseimbangan gender, dan juga mengangkat ke permukaan suatu masalah yang kerap dianggap atau jarang dibicarakan, yaitu dominasi—dan resistensi—seksual yang menyertai dominasi politik dan dominasi ekonomi di atas. Hubungan cinta/seksual antara orang lokal dan orang asing mengungkap sikap, prasangka, reaksi yang bersifat “kultural” dari orang dan lingkungan sosial yang bersangkutan. Ada kalanya wanita berhubungan dengan orang asing karena terbuang—misalnya tidak lagi “suci”. Ada kalanya pilihan wanita atau pria lokal didukung secara implisit atau eksplisit oleh faktor ekonomi –wanita “tergoda”, “pria membeli” di dalam hubungan laki luar/wanita lokal, atau kebaliakannya di dalam gigolo/brondong. Ada kalanya rasisme terbuka atau terselubung main peran juga, di dalam kekasaran seksual, atau dalam atribut “rasial” yang diasumsikan pada partner lain bangsa. Tentu saja, faktor kecocokan pribadi kerap juga mengambil bagian.
Gabungan dari semua atau dari sebagian faktor-faktor di atas menghasilkan bermacam-macam situasi: dari turis yang berkunjung ke bordil, pria atau wanita lokal yang “spesialis” orang bule atau Jepang, hingga ke kekasaran seksual atau orang asing tua yang khusus datang ke Indonesia untuk mencari bunga desa yang “perawan”, taat pada suami dan “eksotik”. Situasi-situasi yang semuanya pantas menjadi topik garapan sastra.
Yang pasti bakal menarik dilihat pada pementasan Roman Made in Bali ini ialah sejauh mana dan bagaimana hubungan cinta/seksual antara orang lokal dan orang asing dapat turut membebaskan kita dari dominasi politik/ekonomi kultural yang kerap membayanginya. Semoga tujuan itu tercapai. Wallahualam.
Jean Couteau
Penulis Perancis yang telah banyak menulis secara baik ilmiah maupun intuitif tentang Bali.
(gambar ilustrasi oleh: Toni Malakian)