“Hola pis kan tolaaa! Hola pis kan tolaaa!” Lirik ini diucapkan berulang-ulang seperti lagu rap. Tiap kali tiba pada kata “tolaaa”, kaum lelaki telanjang dada mengerahkan seluruh tenaga. Tubuh perahu sebesar rumah kecil berhasil didorong sampai ke laut.

Maluku adalah panggung hidup seni budaya. Ia eksotis dalam dimensi ruang, misterius dalam dimensi waktu. Pulau-pulau dari Morotai di utara Halmahera sampai Wetar di dekat Timur Leste adalah gugusan keharuan ribuan tahun. Lautnya selalu biru, kerap teduh bagai kaca cair, kerap bergolak memanggil gelombang dan tsunami. Pulau muncul dari dasar laut, tapi juga daratan tenggelam. Matahari tropis mencurahkan cahaya sepanjang tahun.

Manusia Maluku muncul dari Negeri Nunusaku di Pulau Seram. Ada juga dari Pulau Luang, migrasi moyang dari Malaka, Lembah Yunan, Timur Tengah, Eropa, dari mana-mana. Adapula keturunan bidadari dari langit. Mereka menghuni pulau-pulau kecil yang terkepung laut. Mereka memindahkan irama alam ke sistem peralatan musik tradisi yang suci, mistis, tapi juga romantis dan genit.

Maluku menyemaikan kebudayaan mestizo plus. Persilangan budaya akibat campur bangsa-bangsa Portugis, Belanda, Melayu, Cina, Arab, Melanesia, Alifuru, semuanya menjadi mix-Maluku. Ada persilangan biologis genetis dan juga kultural. Tak heran, di Ambon ada marga de Fretes, Parera, Gaspers, Muskitta, Gomies, van Houtten, de Cock, Assegaff, Alkatiri, Alhadar. Sementara di Yogyakarta, Semarang, Diponegoro, Makassar, Palembang, terdapat persilangan dengan marga Tan, The, Tjoa, yang kemudian akrab dengan Manuhutu, Patiradjawane, Leuwakabessy, Renyaan, Sangadji, dan beribu marga lain.

Sulit mengungkit sekejap fakta historis paling purba musik Maluku. Namun tradisi yang hidup dalam kesadaran orang Maluku adalah realitas fenomenologi kebudayaan dalam sejarah peradabannya yang bisa menjadi teks pembelajaran. Orang Maluku mengenal mantera untuk badoti, matakao, suangi, dan anti suangi. Kapata (Maluku Tengah), kabata (Maluku Utara), misil-masal, tutuk-wawar (Maluku Tenggara) adalah sastra asli yang menembus zaman. Mereka memuja tanah, gunung, tanjung, negeri, dan mengabadikan sejarah, asal-usul, silsilah, dan migrasi, bencana, sukacita dalam lagu.

Mereka memuja Tuhan tradisional dan Tuhan modern dalam lagu. Mereka menghormati nenek moyang dan pahlawan dalam lagu. Mereka bersuka cita dan meratap dalam lagu. Pesan, nasihat, dan amarah pun melalui lagu. Nenek Beata Resubun di Kei menyanyi dalam fabel. Alkisah bangau yang lancang memakan bayi teripang. Ibunda teripang marah dan menjerat kaki bangau dengan benang perekat. Laut pasang, laut pasang, si bangau terbenam. Paruhnya saja muncul di muka air. Ratapan pilu terdengar di angkas: “Bu eee! Bu eee! Omtalik yaau, ro nangan o! Kilako, kilako, kurrr!” (Oh teripang, oh teripang, lepaskan aku, biarkan aku pergi ke daratan, oh)

Dari fabel ini, Nenek Beata masuk ke inti pesan. Hira ni ntub fo i ni, it did ntub fo it did (milik orang lain tetap menjadi miliknya, milik kita tetap milik kita) Inilah pasak ketujuh Hukum Larvul Ngabal yang dipeluk teguh di Kei.

Maluku adalah keindahan yang dikotomis. Berkah dan kutuk. Sebab pulau indah menyimpan tragedi perang sebagai mekanisme pertahanan diri. Perang tak hanya soal persenjataan, melainkan juga ritual, doa, persembahan, tarian, dan nyanyian. Perang dalam semua level terlukiskan secara indah dan pedih bagai rantai makanan dalam novel sejarah Romo Mangun, “Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa”. Ada perang ada damai. Banyak kisah tak terekam dalam proses kebudayaan rakyat, jauh dari seremoni a la Pemda-Pemda.

Sejarah selalu mencatat hal-hal makro dan melupakan mikro. Dalam konflik Maluku 1999 – 2003, ada kisah heroik Jacky Manuputty, jebolan Teater Populer, Jakarta. Dia menyelundupkan seniman Muslim ke tempat seniman Kristen di lokasi rahasia. Mereka berlatih musik dan bernyanyi. Ketika tampil di depan umum, publik terinspirasi pada kolaborasi damai musik sawat Muslim dan totobuang Kristen.

Di tengah konflik, ada banyak prasangka yang mempertebal keraguan. Tapi di Ambon, semua itu runtuh dalam lingkaran Kain Gandong. Tarian dan nyanyian rakyat dalam lingkaran Kain Gandong mencairkan kebekuan. “Ayo pela e, hidup orang basudara, antar gandong, antar suku deng agama e. Ina ama punya mau sioh, katong hidup bae-bae.”

Lagu Pela ciptaan Chris Tamalea ini, bagaikan lagu wajib perjumpaan penuh rindu, sekaligus penyulut semangat untuk melupakan yang pahit, dan kembali kepada harmoni.

Proses perdamaian di Kei sangat istimewa. Raja Watar, J. P. Wahail bergerak dari kampung ke kampung menggelar sdov. Dalam sdov, orang duduk menutur sejarah, menyanyikan asal-usul, petuah, hukum dan sumpah. Semuanya dalam spirit ain ni ain (ain = satu, ni = punya) Sdov selalu berakhir dengan air mata penyesalan dan kerelaan memaafkan.

Lagu dan musik, tak hanya hidup di panggung, tapi dalam hidup konkret. Tak heran Maluku menjadi kepulauan lagu-lagu. Semua pulau punya biduan dan musisi yang piawai di semua genre. Ada yang melegenda, dan ada yang dikenal sebagai NN (no name) Mereka semua adalah pahlawan kemanusiaan dari syair melodi. Mereka mengandalkan do, re, mi tanpa mengandalakna bunyi door, baret, dan premi.

 

Rudi Fofid

Jurnalis dan Penyair Ambon

(gambar ilustrasi oleh: Toni Malakian)

Tulisan di atas merupakan kolom ragam pada pertunjukan Indonesia Kita: Konser CInta – Beta Maluku