Dalam mainstream khasanah politik –terutama setidaknya hingga puncaknya dalam tradisi politik demokrasi liberal– pandangan tentang ‘konflik’ atau ‘perseteruan politik’, secara peyoratif masih diyakini sebagai sesuatu hal yang cenderung buruk. Politik yang baik menurut keyakinan ini tentu saja adalah politik nir konflik. Dalam normalitas umum, konflik dianggap tak hanya merusak namun juga mendistorsi proses dan tujuan konsensus demokrasi. Perseteruan sebisa mungkin harus bisa dilenyapkan untuk mencapai konsensus bersama yang baik dan rasional.
‘Konflik’ masih saja selalu dianggap sebagai problem (patologi politik) yang perlu dilampaui. Dalam normalitas politik konsensus, konflik sebisa mungkin harus dihindari atau setidaknya diminimalisir. Ia pada dasarnya dipercaya sebagai sebentuk ancaman serius yang akan merusak sistem, prosedur, atau tatanan. Pandangan kuat ini tak hanya khas dimiliki oleh model politik dominasi otoriter yang berorentasi pada penyeragaman, namun bahkan juga diam-diam melekat pada matriks dasar pandangan demokrasi saat ini.
Dalam logika perspektif ini, segala hal yang dianggap berseberangan secara politik lalu akan disebut ‘lawan’ atau bahkan ‘seteru’. Lagi-lagi ‘lawan politik’ secara artikulatif cenderung dianggap sebagai katagori yang buruk. Mereka yang sudah mendaku loyalis demokrasi pun akan mudah memberi label ‘musuh demokrasi’ pada subjek atau pandangan yang berseberangan dengannya. Oleh karenanya demokrasi harus bisa melenyapkan anasir-anasir yang mengganggu ini. Demokrasi seolah telah diyakini sebagai sebentuk mantra ampuh dan semacam tatanan kebenaran konsensual yang sudah baku dan fixed.
Menarik kiranya secara kritis merenungkan ulang mainstream asumsi politik semacam ini. Dalam tradisi pemikiran kontemporer, sudah banyak gugatan kritik atas prinsip pandangan ini. Dalam telaah yang lebih kontemporer (radikal) bahkan meyakini bahwa sangat mustahil untuk bisa meniadakan garis prinsip agonisme ini. Batas itu muncul secara ‘konstitutif’ terberi dalam setiap artikulasi diskursus politik. Filsuf kontemporer, Jacques Rancière, secara lebih eksplisit merumuskan bahwa apa yang dipahami sebagai demokrasi alih-alih sebagai bentuk hasil konsensus prosedural, ia pada dasaranya adalah gangguan yang muncul dalam tatanan (police). Gangguan muncul dari ‘mereka-mereka’ (demos) yang selama ini tidak ‘dihitung’ sebelumnya dalam tatanan.
Watak tatanan cenderung berorentasi pada kemapanan. Dengan dalih harmonisasi, stabilitas keamanan, kesatuan nasional dan nilai-nilai konsensus rasional lainnya, maka ikhwal pentingnya tatanan selalu diartikulasikan. Rancière menegaskan juga bahwa sifat tatanan selalu akan cenderung berwatak oligarkis. Watak oligarkis selalu akan berhadapan secara asimetri dengan kemungkinan munculnya demokrasi. Jika tatanan secara prinsip tidak memberi ruang terbuka bagi manifestasi dan ‘menyeruaknya mereka yang tidak terhitung’, sesungguhnya bisa dikatakan ia bukanlah ‘demokrasi’ yang sesungguhnya.
‘Gangguan’ itu bisa berbentuk seperti ketidaksepakatan atau penolakan. Demokrasi akan terwujud bila tatanan mampu membuka ruang pada hadirnya ‘gangguan’. Tanpanya sejatinya demokrasi tidaklah ada. Oleh karenanya bagi pandangan Rancière, demokrasi bukan merupakan sebentuk praktik ‘politik konsensus’ namun justru hidup dalam logika ‘disensus’. Matriks pandangan dekonstruktif semacam ini sering kali tidak mudah diterima dalam logika konsensual yang telah mengakar kuat dalam tradisi politik sampai hari ini. Pengandaian logika ‘demokrasi disensus’ ini tentu saja dilandasi oleh kepercayaan utama bahwa ada ‘kesetaraan’ bagi semua orang (demos). ‘Kesetaraan’ bukan sebagai utopia cita-cita atau tujuan demokrasi, namun kesetaraan justru sebagai ‘titik tolak’ atau ‘matriks dasar’ yang secara prinsip sudah diandaikan ada sebelumnya.
Pandangan demokrasi semacam ini tentu saja secara konstitutif mengakui adanya hubungan ketegangan terus-menerus antara ‘tatanan’ (police) yang punya kecenderungan ‘oligarkis’ dengan ‘mereka yang tak terhitung’ (demos) yang ingin memverifikasi kesetaraannya dalam tatanan. Saat proses agonisme ini diberi ruang maka akan terciptalah proses demokrasi sesungguhnya. Saat ‘yang tak terhitung’ sudah terafi rmasi dalam kualifi kasi tatanan, gangguan tidak akan terus melenyap begitu saja. Gangguan akan selalu ada pada mereka-mereka yang masih tidak terhitung dalam tatanan dan niscaya akan terus terjadi, sebagaimana telah menjadi prinsip dasar dari kehadiran ‘Yang Politik’.
Sering kali bagi status quo tatanan, mereka yang tak terhitung kerab dilabeli dengan musuh atau ancaman atas tatanan. Dalam watak ‘tatanan’, apa yang mengancam stabilitas tatanan tidak akan diberi ruang dan dengan demikian watak semacam ini tidak akan melahirkan satu kondisi demokrasi. Jika pun sebuah sistem telah mendeklarasikan dan menerapkan sistem demokrasi, namun jika saja ruang terbuka pada akses hadirnya ‘yang tidak terhitung’ tidak ada, maka sejatinya yang ada sesungguhnya adalah sistem yang jauh dari watak demokrasi alias demokrasi palsu.
Meminjam tilikan kritis tentang prinsip ‘agonisme’ yang pernah dielaborasi oleh Chantal Mouffe, menyebutkan secara tegas bahwa kategori ‘lawan’ justru merupakan konsep utama untuk menggambarkan kekhasan dalam politik demokratik. Bahkan menurutnya, konsepsi ‘lawan’ ini menjadi basis gagasan pokok dari ‘demokrasi agonistik’. Tak hanya bahwa ‘seteru’ atau ‘lawan’ secara niscaya akan terus hidup dalam kontestasi demokrasi, namun ia secara konstitutif telah menjadi prasyarat dari prinsip makna demokrasi dan ‘Yang Politis’ sesungguhnya. Apa yang terpenting adalah mengupayakan bahwa watak agonisme politik ini sebisa mungkin tidak melahirkan praktik destruksi dan kekerasan di dalamnya.
St. Tri Guntur Narwaya
Direktur Mindset Institute dan Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana, Yogyakarta
(gambar ilustrasi oleh: Tony Malakian)