Barangkali hanya orang sinting yang punya ide membubarkan KPK, ketika negara tengah terbelenggu korupsi, sementara aparat hukum konvensional telah jatuh dalam tingkat perdebatan paling hina menjadi jongos koruptor. Sejauh ini, sudah 13 kali KPK coba dipreteli kekuasaannya lewat Mahkamah Konstitusi atau skenario kriminalisasi pimpinannya.
Tapi tidak usah buang-buang umur memikirkan derajat kewarasan mereka yang mewacanakan pembubaran KPK, mereka hanya berkata jujur pada diri dan kelompoknya. Sebab belakangan, KPK telah menjadi mimpi buruk bagi para pejabat dan politisi busuk yang kurang pandai menyembunyikan kebusukannya.
Koruptor kawakan telah piawai menjalankan praktik kekoruptorannya, malah lebih cerdik, dan tidak lantang menyuarakan pembubaran KPK dari mulutnya sendiri, tetapi mengambil keuntungan dari generasi muda koruptor yang ingin terlihat lebih heroik dalam membela kelompoknya.
Realitasnya, DPR dan partai politik, dalam lima kali survey Global Corruption Barometer sejak 2004, adalah juara bertahan peringkat utama lembaga-lembaga yang paling korup bersama dengan lembaga peradilan. Dan tanda-tanda parpol akan menjadi mesin korupsi yang paling ganas, karena transaksi untuk meloloskan program dan proyek-proyek pembangunan pemerintah berada di tangan mereka.
Di masa lalu, partai dan parlemen hanya menjadi pemberi persetujuan politik, karena transaksi state capture sudah selesai sebelumnya di Istana dan siapa yang berani mengganggu kemauan Istana waktu itu?
Sikap vulgar itu juga mungkin menandakan kembalinya era korupsi terpimpin, yang sejak era reformasi mereka telah kehilangan kepemimpinan dan pemimpin agungnya, sehingga terjadi kekacauan dalam perebutan wilayah jarahan yang melemahkan mereka sendiri.
Kita tahu, proses konsolidasi oligarki korup belakangan hampir tuntas, dan karenanya mereka mulai punya nyali untuk menghancurkan anak haram reformasi, yakni kelembagaan-kelembagaan independen produk reformasi seperti KPK dan Pengadilan Tipikor yang mengganggu pembangunan imperium oligarki predator itu.
Mahkamah Konstitusi dan KPU ke depan tidak mustahil akan menjadi sasaran mereka untuk dikuasai kembali. Cuma sekarang karena mereka belum memiliki pemimpin besar yang ditakuti seperti leluhur mereka pada masa Orba, acapkali keributan dalam transaksi korupsi masih sering muncul.
Ada bahaya korupsi yang luar biasa di dalam sistem patronase terpencar seperti sekarang ini. Para elite secara politik senantiasa merasa tidak aman dengan kekuasaan yang dimilikinya. Kekuasaan mereka tidak panjang umur seperti pada zaman Orde Baru, karena pergantian politik relatif cepat.
Sementara pengikut atau konstituen yang mereka beli dengan kekuatan uang, kenyataannya harus disuap secara terus-menerus karena memiliki beberapa alternatif pilihan politik yang juga melakukan praktik politik uang. Karena itu, mereka secara manusiawi (menurut norma koruptor) selalu tergoda untuk semakin memperluas wilayah jarahannya. Menurut fatwa koruptor, mereka ini adalah golongan yang paling murah untuk disuap oleh siapa saja yang berkepentingan untuk merampok.
Ketika semua kotor dan persaingan politik semakin kotor, pada gilirannya akan melahirkan korupsi yang lepas kendali. Bukankan secara teori, korupsi melahirkan politik yang busuk akan melahirkan lebih banyak korupsi?
Bila korupsi menjadi bahan bakar utama menggerakkan mesin demokrasi, saya kira keadaan ini akan melanggengkan sistem korup yang mapan dalam jangka panjang. Indonesia bisa jatuh lebih merosot ke dalam situasi yang lebih kleptokratik lagi: yaitu pemerintahan akan dipimpin oleh para maling yang akan merampok harta rakyatnya sendiri. Asu!!
Teten Masduki
(gambar ilustrasi oleh: Toni Malakian)