Setelah dua tahun lebih program “Indonesia Kita” tiarap akibat wabah pandemi, kali ini kami hadir kembali. Bukannya situasi sudah normal. Tapi sebagai jawaban kerinduan. Yang main maupun yang nonton sama-sama kangen. Rindu ngakak bareng. Bercanda secara kolektif. Berbagi pikiran. Sambil merefleksikan keadaan yang sering kita bilang sebagai ibadah kebudayaan, sebuah ikhtiar untuk merawat keindonesiaan kita.

Kita boleh tampil tetap dengan pembatasan yang alhamdulilah semakin longgar. Kali ini masih dibatasi hanya boleh ditonton 50% kapasitas gedung, yang moga-moga Maret nanti – sesuai janji Presiden di depan seniman-seniman seni pertunjukan – konon akan dilonggarkan menjadi 70 atau 80 persen jika situasi semakin membaik. Meskipun semua itu harus tetap mematuhi protokol kesehatan.

Apa boleh buat. Inilah kompromi yang musti kita lakoni. Sudah sangat bersyukur diizinkan manggung lagi. Para sponsor tidak ragu-ragu lagi memberikan dukungan. Seumpama manggung online, pertunjukan model “IK” tampil tanpa penonton, tentu ibarat sayur tanpa garam. Anyep. Dingin. Tak ada interaksi emosional antara peristiwa teater dengan penonton. Selucu-lucunya pemain dan plot cerita yang jenaka, pasti akan bikin kita bertepuk sebelah tangan. Bisa bikin frustasi. Jadi, pertunjukan “Tabib Suci” kali ini menjadi medan kegembiraan untuk kangen-kangenan.

Betapa selama dua tahun ini banyak kejadian tragis yang menimpa kami. Djaduk Ferianto salah satu penggagas dan tim kreatif “IK” gugur November 2019. Juga Tokim, kawan yang kerap membantu sebagai stage-crew juga pergi selamanya mendahului kita. Sementara, kita tahu, gedung Graha Bakti Budaya TIM, tempat di mana “IK” selalu dipanggungkan, dirobohkan oleh gubernur yang hobinya menghambur-hamburkan anggaran.

Pengkhianatan Murni

Tentang hal ini, saya sih cuma ingin bilang, ”Yang dilakukan Gabener itu sebuah pengkhianatan murni kepada para seniman-budayawan Jakarta. Dulu kawasan TIM diniatkan sebagai investasi kultural, tempat menggembleng lahirnya SDM berkualitas di bidang kebudayaan, maka waktu itu yang memayungi adalah lembaga sosial, Yayasan Kesenian Jakarta. Tapi sekarang dipaksa menjadi komersial industrial karena yang memayungi TIM adalah Jakpro, lembaga bisnis yang tugasnya menangguk keuntungan sebanyak-banyaknya.”

Mengingat fakta-fakta tragis itu, kayaknya kita memang membutuhkan Tabib, juru sembuh yang bisa menyelamatkan kehidupan menjadi lebih baik. Saya pun secara pribadi juga bersyukur merasa diselamatkan dari maut, ketika tahun lalu selama lima bulan terkapar tak berdaya. Merasa hidup tanpa harapan. Mengalami depresi akut ketika tahu infeksi di tubuh saya menyebabkan nanah bergerak menuju otak, dan saya harus menanti datangnya game-over. Tapi semesta, sokongan semangat dan doa kawan-kawan yang penuh cinta dan keikhlasan, rasanya seperti mukjizat yang mampu memperpanjang usia.

Mengusung Cita-cita

Di sinilah, saya pikir, kita memang membutuhkan tabib-tabib. Para juru sembuh. Tidak harus suci. Tapi tabib yang ikhlas dan selalu membagi cinta dan kebaikan. Terutama tabib untuk menyelamatkan Indonesia. Indonesia harus diselamatkan? Iya!!! Karena hari ini kita masih mendengar ancaman disintegrasi bangsa. Ujaran kebencian. Teriakan waton sulaya, asal njeplak, tanpa etika dan logika. Kita ingin supaya negeri ini tetap konsisten mengusung cita-cita leluhur bangsa menjadi negara yang majemuk, full toleran, saling menghormati meskipun kita berbeda-beda suku, agama dan etnis kebudayaannya.

Jadi, marilah kita rajin melakukan ibadah kebudayaan. Jangan pernah kapok menjadi Indonesia!

 

Butet Kartaredjasa

Penggagas Ide Indonesia Kita

(gambar ilustrasi oleh: Toni Malakian)

Tulisan di atas merupakan kolom ragam pada pertunjukan Indonesia Kita: Tabib Suci