Ini memang serba kebetulan. Kebetulan yang pertama, edisi “Indonesia Kita” kali ini manggung pas tanggal 10 dan terutama 11 Maret, yang mengingatkan peristiwa kontroversial dalam sejarah modern Indonesia. Bukan niat kami memilih tanggal tersebut. Tapi memang hanya itu jadwal kosong gedung ini. Kebetulan kedua, kok situasi mutakhir negeri ini nyaris mirip zaman itu: tatkala permainan politik menggunakan tekanan massa, adu domba umat beragama, pemanipulasian fakta dan ditiupkannya isu-isu yang membetot emosi khalayak, yang semua itu dilakukan untuk menggulingkan sebuah kekuasaan. Menyaksikan geger politik dalam rangka menjegal Ahok dalam Pilkada Gubernur DKI yang bising dan berisik, bahkan mendadak ada ancaman makar, banyak orang bilang,”Kok rasanya seperti pertengahan tahun 60an ya?”
Dan nyatanya, sejarah kemudian membuktikan terjadi kudeta merayap yang melegalkan kekuasaan beralih “secara sah” yang dilakukan kekuatan bersenjata. Tentu kita belum lupa kisah hilangnya Surat Sebelas Maret yang misterius, yang merupakan cikal bakal tragedi politik yang bikin jutaan orang mati sia-sia karena dibantai untuk memuluskan seseorang naik tahta.
Tentu kita tak berharap sejarah buruk itu kembali berulang. Kita sama-sama sudah kapok hidup dalam serba ketakutan: pers dikekang, intelektual dibonsai, seniman dibungkam, akal sehat ditumpulkan, berpolitik hanya akal-akalan sandiwara, sistem hukum dikendalikan, daya kritis dilumpuhkan, pikiran diseragamkan, dan kekuatan ekonomi dipusatkan kepada Goodfather untuk kemudian dijadikan bancakan keluarga dan kroni-kroninya saja.
Kala itu yang ada cuma kawan dan lawan. Yang berseberangan dibinasakan atau dihilangkan. Dari yang serba kebetulan itulah lakon “Presiden Kita Tercinta” tercipta untuk menyegarkan kembali ingatan kita. Minimalnya supaya khalayak berwaspada, berjaga-jaga, jika kisruh politik hari ini berujung pada situasi brubuh alias chaos, – atau diam-diam ada yang sengaja mempercepat chaos itu — jangan lagi ada penumpang gelap bersenjata melompat naik tahta kekuasaan atas nama memulihkan keamanan negara.
Aneka watak
Namun, seni pertunjukan – dan kesenian pada umumnya — bukanlah sejenis kartu tarot yang bisa membaca masa depan. Bukan ramalan. Bukan sebuah prediksi. Ia sekadar tafsir kreatif bersifat penghiburan yang dimainkan dengan suka cita, dan insyaallah bisa bikin katarsis penontonnya. Namun begitu terkadang ia bisa juga menjadi semacam cermin masyarakat yang memantulkan aneka watak dan aneka siasat. Dan bisa jadi watak-watak kita ada dalam berbagai siasat di dalamnya. Dalam khasanah tradisi di berbagai wilayah etnik Nusantara, banyak kitab yang merekam kondisi zamannya. Tapi juga tak sedikit yang mencatat tanda-tanda zaman, bahkan ngerti sak durunge winarah alias memahami apa yang bakal terjadi. Apa yang dicatat pujangga Ronggowarsito mengenai zaman kalabendu yang meramal akan terjadinya zaman edan nyatanya hari ini benar-benar terjadi.
Karena itulah meyakini kekuatan dan kekayaan seni tradisi, bagi kami, merupakan suatu keniscayaan. Tapi lantaran zaman telah berganti dan selera telah berubah, apalagi setelah memasuki era digital sekarang ini, dibutuhkan kecerdasan membahasakan semua potensi
Kekayaan itu. Supaya generasi baru akrab dan familiar terhadap apa yang sering dipandang dengan mata terpicing: tradisional itu kuno dan ndesit.
Karena itulah, jika kemudian anda sekalian bisa memfungsikan kesenian dalam program “Indonesia Kita” ini sebagai ikhtiar membaca diri sekaligus membaca masyarakat, sungguh kami bersyukur. Apa yang kita rayakan sambal cekakakan dalam setiap ibadah kebudayaan ini, tentulah tidak berhenti sebagai peristiwa ketawa-ketiwi saja. Ada kesadaran baru yang menggedor hati kita. Kesadaran mempercayai kembali kekuatan lokal dan mensyukuri keberagaman. Pada titik inilah, kami merasa apa yang kami kerjakan tidak sia-sia.
Bukankah kita tetap berada dalam track yang sama, untuk meyakini keindonesiaan kita melalui jalan kebudayaan? Dan bersama-sama pula merawat kebhinekaan seperti diimpikan para leluhur kita. Maka, –tak mau kalah dengan politisi yang hobinya ge-er– saya tegaskan, “Wahai rakyatku, jangan pernah kapok menjadi Indonesia!”
Butet Kartaredjasa,
Direktur Kreatif Indonesia Kita
(gambar ilustrasi oleh: Toni Malakian)