Panggung sejarah Indonesia mencatat bila kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan hasil dari pergerakan para kaum intelektual. Mereka adalah bapak bangsa/The Founding Father yang membuka mata dan menggerakan rakyat bersatu atas perasaan senasib sebagai bangsa yang dijajah.

Terdapat adagium yang dikemukakan Winston Churchil “History has been written by the victors” (“Sejarah ditulis oleh para pemenang”) namun dalam konteks kemerdekaan Indonesia,  perlu ditegaskan bila sejarah kemerdekaan Indonesia faktanya dicapai atas kontribusi besar para bapak bangsa yang sebagian besar merupakan intelektual dan cendekiawan asal Minang. Bahkan hingga masa revolusi dan Orde Lama. Sayangnya, tidak ada satupun dari mereka yang menduduki kursi kepresidenan yang selalu didaulat oleh Jawa sentris. Selanjutnya, memasuki babak Orde Baru, kelahiran para intelektual dan tokoh Minang dengan seolah meredup baik di panggung politik maupun pergerakan.

Sebut saja Haji Agus Salim, Mohammad Hatta sebagai ko-proklamator, Sutan Sjahrir, dan Tan Malaka sebagai bapak bangsa dan sosok pemikir ulung yang berkiprah besar bagi kemajuan bangsanya. Selanjutnya ada Muhammad Yamin sebagai pelopor Sumpah Pemuda, Mohammad Natsir pimpinan partai Masyumi dan tokoh politik lainnya. Namun, tidak hanya  di bidang politik, Buya Hamka merupakan ulama, cendekiawan dan sastrawan yang memiliki keterlibatan besar dalam pendidikan bangsa.

Keberhasilan dan kesuksesan orang Minang banyak diraih ketika berada di perantauan. Banyak suku bangsa di Indonesia yang merantau namun yang paling fenomenal adalah Minangkabau sebab kultur/budaya adat Minangkabau itu sendiri sejak zaman dahulu kala secara turun-temurun sampai sekarang, mendorong pemuda-pemuda Minangkabau saat menginjak usia muda untuk pergi merantau.

Bagi masyarakat Minangkabau, merantau merupakan tradisi yang terbangun dari budaya yang dinamis, egaliter, mandiri dan berjiwa merdeka. Filosofi dan tujuan merantau menurut Mochtar Naim, terkait dengan merantau sebagai proses interaksi masyarakat Minangkabau dengan dunia luar. Orang Minangkabau merantau dengan kemauan dan kemampuannya sendiri. Mereka melihat proses ini semacam penjelajahan, proses hijrah, untuk membangun kehidupan yang lebih baik.

Para tokoh ini tidak hanya melakukan perantauan di negerinya namun hingga menjelajah negeri lain, tetapi nilai-nilai tradisi lokal secara etnisitas dan primordial masih sangat mempengaruhi karakter dan pemikirannya. Identitas etnis adalah suatu fenomena sosial yang kuat. Hal ini menyangkut perasaan, di mana orang tersentuh atas cara yang khas. Sebagai “negeri kata-kata” dengan filosofis “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, syarak mangato, adat mamakai” Minang memiliki pepatah-petitih adat dan orang tua. Mengaji, mempelajari agama dan berlatih silek (silat) di surau hingga budaya maota di lapau (berdiskusi di warung) aktivitas budaya ini melatih untuk berbicara dan beradu argumentasi hingga berpidato. Meskipun merantau semakin membukakan mata mereka dalam pemikiran secara menyeluruh dalam berwacana dan berdialektika dengan dunia luar, namun konstruksi identitas sebagai orang Minang selalu disematkan dan tertanam.

Agus Salim pendiri Sarikat Islam memiliki konteks pemikiran antara sosialisme dan Islam, meskipun dekat dengan kekuasaan, kehidupannya jauh dari kemewahan bahkan semboyan hidupnya selalu berpegang pada Lillahi’taala “Semua Demi Allah”. Selanjutnya  demokrasi sosial yang dikemukakan Mohammad Hatta merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Sutan Sjahrir dengan politik diplomasi dan Tan Malaka sebagai orang pertama yang menulis konsep Republik Indonesia, melintas antar benua untuk memperjuangkan nasib bangsanya. Dalam pidatonya pada Kongres Komunis Internasional ke-empat pada tanggal 12 Nopember 1922  menyoal Komunisme dan Pan Islamisme, Tan mengatakan “Ya, saya katakan, ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan seorang Muslim, karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia!”

Selanjutnya sikap, intelektualitas dan perjuangan  para bapak bangsa ini masihkah relevan atau terefleksikan di zaman saat ini? Masihkah dapat terlahir para tokoh Minang yang baru di balik gerusan zaman dan modernisasi yang menghanyutkan dengan penjajahan gaya baru. Selain kekuasaan dan politik yang ditunggangi kepentingan.

 

Ratu Selvi Agnesia

(gambar teks oleh: Toni Malakian)

Tulisan di atas merupakan kolom ragam pada pertunjukan Indonesia Kita: Datuk Bagindo Presiden