Khatib sholat Jumat di sebuah masjid di Bantul, memulai khotbahnya dengan kejutan: “Humor itu tanda kaum beriman.” Para jamaah ‘mesem’ sambal tetap terkantuk-kantuk, hingga kelihatannya seperti khusuk berdoa.

“Saya tahu Anda sekalian menahan ketawa karena Anda mengira di masjid dilarang ketawa,” katanya lagi. Mereka mendongak ke mimbar, memperhatikan sang khatib, yang fasih menguraikan sifat Tuhan yang mahajenaka. “Jadi kalau kita pandai melucu, berarti kita mencontoh sifat Tuhan. Begitulah watak kaum beriman.” Maka, jangan lupa Rasulullah, yang berwibawa itu pun gemar berhumor.”

Di Yogya, juga di Bantul, tiap orang pelawak. Dan melawak itu urusan kolektif, bukan perorangan. Kehidupan sehari-hari panggung mereka. Basiyo, Ngadul, Darsono, Djunaidi, juga Butet dan rombongan “Laskar Dagelannya”nya? Mereka dagelan yang tahu menejemen dan cara menjadikan “humor pangkal kaya.”

Tiap orang Yogya pandai mendaur ‘tangis’ menjadi gelak tawa, dan mengubah dukacita menjadi energi tak dikenal, yang bisa menjaga kesehatan jiwa, dan membuat yang miskin merasa optimis menghadapi kemiskinannya.

Ungkapan “sugih tanpo bondo” lahir dari iklim kebudayaan macam ini.” Dari kelompok mana “kaum beriman” yang pandai mendagel ini datang?”

Pada umumnya, mereka wong cilik. Paling tinggi datang dari kelas menengah. Mereka kaum pinggiran, sama dengan peran punakawan dalam dunia wayang. Dulu Rendra menyebut kelompoknya kaum urakan: orang-orang kritis yang berjiwa merdeka. Dalam berkata-kata, mereka mengutamakan kejelasan isi, ketimbang unggah-ungguh dan tata karma yang hampa.

Mereka golongan yang melek dan sadar politik tapi tak pernah berpikir menjadi politikus. Gerak-gerik para pemimpin negara mereka amati. Bunyi dan tekanan suara, langgam dan gaya bahasa, yang khas gaya pejabat, mereka simak. Juga, bahasa tubuh orang kelas ‘atas’ itu. Ini semua perkara penting untuk dikapitalisasi ketika –siapa tahu– perlawanan harus diperlihatkan. Dan lahirlah parodi yang menggambarkan kemiskinan jiwa di kalangan orang-orang yang secara ekonomi bagian dari orang kaya itu.

Adakah pejabat yang melawak? Tidak ada. Pejabat tak perlu melawak karena segenap tingkah laku mereka sudah lebih dari sekadar suatu lawakan. Kalau sebuah dagelan sedang berbohong, mereka hanya bohong dalam lawakan, tapi bila pejabat berbohong, maka bohong sungguhanlah mereka.

Para pejabat kita dilatih berpikir normatif, serba resmi, dan terikat struktur jabatan yang kaku, yang jarang mereka bisa tersenyum secara tulus lahir batin. Ketika bernyanyi sekalipun –dan pejabat gemar menyanyi–, mereka itu kelihatan getir, pura-pura, dan hatinya jelas tak ikut menyanyi. Lelucon yang lahir dari lingkungan macam ini pasti tidak lucu.

Lain dengan ungkapan “Yogya Pangkal Ketawa” yang merupakan ungkapan khas jiwa merdeka menertawakan ketertindasannya sendiri. Jangan salah, beberapa abad lamanya, Yogya dibentuk dua kelas: kelas bangsawan, raja dan seluruh keluarga Keraton sebagai kelas atas, dan kawulo alit, rakyat yang begitu patuh pada raja, sebagai kelas bawah. Struktur ini yang membentuk watak celelekan, semangat memainkan plesetan kata-kata, sindir menyindir yang terdengar halus dan sopan tapi menikam. Ini komunikasi Yogya untuk Yogya, di antara orang dan kelompok yang berbagi pandangan dunia yang sama. Komunikasi Yogya untuk Jakarta? Ini lain. Untuk apa sopan pada mereka yang tak pernah mengenal kata sopan? Yogya mengakomodir Jakarta –bahkan Indonesia– tapi tidak sebaliknya. Pelecehan sejarah membikin luka dan sejarah. Dan bagi Yogya, luka dan tak bisa mungkin terlupa. Dan kita marah di saat harus marah, biarpun kita tahu, Yogya pangkal ketawa.

 

Mohamad Sobary

Budayawan

(gambar ilustrasi oleh: Toni Malakian)

Tulisan di atas merupakan kolom ragam pada pertunjukan Indonesia Kita: Musikal Plesetan – Laskar Dagelan