Siapa sih yang tidak pernah mendengar legenda Malin Kundang? Malin Kundang dendam pada kemiskinan. Lantas ia tinggalkan ibunya sendiri di kaki bukit Airmanis dan ia pun pergi melaut, sebagai salah seorang kelasi kapal. Lalu, dikabarkan ia berhasil menjadi konglomerat, kaya raya. Suatu ketika kapal itu berlabuh di Pelabuhan Muara Padang. Orang-orang pun kaget melihat Malin Kundang yang dulu kumal, miskin, dan penuh borok itu tiba-tiba disanjung dan dihormati. Mendengar kabar, sang ibu yang sudah tua dan papa datang melihat anaknya. Tapi, demi harga diri, si Malin pun malu melihat ibunya sehingga perempuan tua yang buruk itu tidak diakui sebagai ibu kandungnya. Jatuhlah sumpah perempuan tua itu atas anaknya tersebut, sehingga Malin Kundang menjadi “batu”.

Legenda tentang Malin Kundang dituturkan terus menerus. Itulah sebabnya, tak satu pun orang Minangkabau yang memberi nama anaknya Malin Kundang. Karena Malin Kundang anak durhaka. Memanfaatkan legenda tersebut, sebagai kerangka pembawa pesan dalam sajak “Maling Kondang”, saya melakukan ubah sesuai keadaan, menjadi kejadian hari ini.

Malin Kundang saya plesetkan menjadi Maling Kondang (mali(a)ang= pencuri= bahasa Minang dan kondang= popular= terkenal) yang merupakan representasi dari perangai sementara pejabat negeri ini yang seenaknya mencuri uang negara, sementara rakyat terhempas ke lembah kemiskinan seperti terabaikan begitu saja. Bahkan, musibah demi musibah silih berganti memporak-porandakan negeri yang kita cintai ini. Saya kutipkan sajak itu:

 

MALING KONDANG

Duduk di atas angin ia semakin

Kondang

Melesat menembus langit

Nyangkut di bahu matahari

Berberita ke bilik tetangga,

Berdecak kagum

Ia tunggangi pelangi ke negeri Apsari

Bersahut media saling menyebut

Saling debat dan beropini

 

Kemurkaanpun mekar jadi dendam

Hingga melaut ludah dalam mulut

Rupiah ia kebiri, memperkosa ibu pertiwi

Tak ada yang bisa menyentuhnya

Mentari menjilat dan hangus terpanggang

Duduk di kursi angin ia semakin kondang

Menjadi maling di negerinya sendiri

Katanya bukan korupsi, tapi komisi

 

Setajam apapun lidah politikus

Membatu hati bak Malinkundang

Debat dengan pakar sekaligus

Media berberita berulang-ulang

 

Mengalahkan penderiataan rakyat

Dari musibah yang mereka dapat

 

Padang 2010.

 

Sebagai bangsa yang “bermalu”, jangankan mencuri, dicurigai saja biasanya kita, bahkan keluarga, menjadi malu. Di daerah saya, seorang anak yang ketahuan menukar sandalnya di surau, akan malu pulang ke rumah orangtuanya. Sebaliknya, sementara pejabat dan atau pengusaha yang dekat dengan pembuat kebijakan di negeri kita ini, malah dengan bangga melakukan pencurian kekayaan negara.

Seorang anggota legislatif atau pejabat negara, akan malu pada teman dan keluarganya bila masih saja ngontrak rumah dan naik taksi. Maka dengan segala upaya, ia harus membeli rumah mewah dan mobil mewah. Tak peduli apakah itu hasil sogokan, manipulasi data, komisi, uang jasa, dan lain sebagainya, yang mereka sebut “itu bukan hasil korupsi” sehingga sadar atau tidak, dengan terang-terangan secara tersistem, berkelompok mereka “memperkosa” ibu pertiwi secara bergantian. Bila Malin Kundang disebut sebagai anak durhaka pada ibu kandungnya yang kumuh, buruk dan tua, maka si Maling Kondang telah memperkosa ibu pertiwi yang cantik, ayu, kaya raya ini. Mereka mencoleng kekayaan negara dengan rasa aman, bahkan masih senyum-senyum ketika ditayangkan di televisi. Benar-benar tak bermalu!

Atau seperti dikatakan DR. Sastri Sunarti Sweeney, pemimpin redaksi Horison online, “Baik Malin Kundang maupun Maling Kondang keduanya merupakan tokoh durhaka. Jika Malin Kundang durhaka pada ibu yang melahirkannya, maka Maling Kondang durahaka pada Ibu pertiwi (tanah air dan bangsanya). Kedua tokoh juga digambarkan memiliki sifat kepala batu dan meninggalkan penderitaan pada masyarakat pendukungnya. Transformasi dari Malin Kundang menjadi Maling Kondang lagi-lagi memperlihatkan penguasaan yang baik seorang penulis terhadap wacana lisan yang dimilikinya.”

Perantauan, perjalanan Malin Kundang dari nol, hingga hatinya ‘membatu’ kehilangan nurani akibat kekayaan yang melimpah, telah menyeretnya ke sebuah pojok terasing. Sementara Maling Kondang yang bangga telah memperkosa ibu pertiwi dengan senyum-senyum ‘menebarkan rupiah’ sebagai status sosialnya yang cukup mapan. Pulang ke daerah asalnya membangun jalan, rumah ibadah, tak lain untuk menutup ‘aib’nya yang dibenci dan dikutuk banyak orang.

Keadaan yang memiriskan inilah yang membuat saya merasa tertikam dalam kesendirian. Mereka (para maling yang kondang itu) sepertinya santai-santai saja. Dalam sajak lain yang terhimpun dalam buku puisi ‘Maling Kondang’ terbitan Teras Budaya, 2012, yakni ‘Di Negeri Pelacur yang Pekak’ sebagaimana disebutkan Arie MP Tamba (redaktur harian Jurnal Nasional) saya disebut ‘penyair politik’ yang menjadikan karut-marut ketimpangan sosial, ekonomi, kemerosotan moral, perusakan alam, ketidakadilan hukum, dan berbagai penyakit sosial lainnya sebagai persoalan Indonesia sehari-hari.

Apapun namanya, sebagai seorang anak bangsa, saya mencoba menggelitik para politisi, pejabat pengambil kebijakan di negeri yang kita cintai ini, untuk melakukan instropeksi atas diri kita masing-masing. Tak hanya dalam sebuah puisi, tetapi juga telah saya upayakan dalam bentuk visualisasi puisi ‘Maling Kondang’ grup teater Nan Tumpah Padang yang disutradarai Mahatma Muhammad di Teater Utama Taman Budaya Padang, 20 Juni lalu, dan kini dalam bentuk lain, Maling Kondang dalam bentuk pentas parodi-satir dalam pentas Indonesia Kita. Selamat menyaksikan.

 

Syarifuddin Arifin

penyair dan wartawan

(gambar ilustrasi oleh: Toni Malakian)

Tulisan di atas merupakan kolom ragam pada pertunjukan Indonesia Kita: Maling Kondang