Saya perlu mengingatkan, sekaligus menegaskan kembali, bahwa Indonesia Kita bukanlah kelompok atau grup kesenian, tetapi sebuah program, sebagai sebuah ikhtiar untuk mempertemukan beragam dan pelbagai seniman dengan banyak latar budaya. Jalan kebudayaan untuk terus merawat keberagaman, yang mencoba memahami kembali Indonesia sebagai sebuah proses berbangsa dan bernegara; sebuah proses ke-Indonesia-an melalui jalan kesenian dan kebudayaan, dengan mengolah kembali kekayaan khasanah seni budaya melalui pertunjukan-pertunjukan yang segar dan inovatif: sebagai sebuah ihktiar membangun Indonesia yang plural, toleran dan berbudaya, Indonesia sebagai “Rumah Bersama”.

Kira-kira begitulah semangat yang ingin digaungkan, ketika pada tahun 2011 pertama kali Indonesia Kita digelar. Saat itu, lakon pertama yang dipentaskan adalah Laskar Dagelan. Sejak itulah, Indonesia Kita rutin menggelar beragam pentas yang merupakan hasil kerjasama dengan banyak seniman lintas disiplin dan budaya. Mulai dari Glenn Fredly, Didi Petet, Sujiwo Tejo, Tom Ibnur, Kartolo, Didik Nini Thowok, Hanung Bramantyo, dan masih banyak lagi lainnya. Lakon-lakon lainnya yang telah dipentaskan adalah Kutukan Kudungga, Kabayan Jadi Presiden, Matinya Sang Maestro, Nyonya-nyonya Istana, Tabib dari Timur, Datuk Bagindo Presiden, Komedi Tali Jodo, Doea Tanda Mata, Sri Eng Tay (rata-rata setahun 4 pementasan) sampai Sabdo Pandito Rakjat yang menjadi pertunjukan penutup di tahun 2016 ini.

Yang kemudian menjadi khas pada pentas-pentas Indonesia Kita adalah, satu, mengolah kembali apa yang menjadi khasanah dan kekayaan tradisi. Pentas-pentas berangkat dari semangat untuk menghadirkan kembali keberagaman kultural yang tumbuh di masyarakat. Kesenian ialah sebuah proses yang terus tumbuh, tak berhenti pada satu bentuk kesenian. Yang kedua, adalah pendekatannya yang rileks dan cair dalam proses produksinya. Karena bagaimana para pekerja kesenian yang terlibat dalam proses itu bisa bersama-sama mengolah gagasan dan ide-idenya, menjadi hal yang sangat diprioritaskan, karena dari situlah akan tumbuh dialog dan belajar mengakomodasi perbedaan, dan yang ketiga, dari proses produksi yang cair tersebut, maka gaya pementasan pun menjadi sangat fleksibel, sebagaimana pada semangat teater tradisional yang bnyak berkembang di Indonesia, memberi ruang improvisasi spontan dengan pendekatan gaya komedi.

Tiga hal itu sebenarnya tumbuh perlahan selama proses produksi Indonesia Kita berjalan dari tahun ke tahun. Pentas Indonesia Kita memang kemudian menyadari, bahwa pendekatan humor atau komedi menjadi “pilihan yang paling dimungkinkan” untuk menyampaikan ide-ide soal keberagaman atau kebangsaan, dengan cara yang tak terlalu serius. Saya pribadi kemudian membayangkan, pentas-pentas Indonesia Kita bisa menjadi alternatif pertunjukan masyarakat penonton. Pentas yang menyenangkan tetapi tidak sekadar sebuah hiburan. Pada tingkat ini, pilihan bentuk pemanggungan dan tata artistik pada tiap pementasan Indonesia Kita, sedapat mungkin bisa semakin memperkaya dan memuaskan imajinasi para penonton.

Unsur komedi dalam pentas Indonesia Kita, sesungguhnya bukan sebuah tujuan. Ia hanya sebagai sebuah cara untuk menyampaikan gagasan, sebagaimana sebenarnya telah banyak dilakukan oleh banyak seniman. Bahkan sejak jaman kuno, ternyata telah muncul catatan yang memperlihatkan bagaimana pentingnya humor dalam proses kebudayaan. Dalam kebudayaan Jawa Kuno telah dikenal istilah pelawak yang bisa dilihat dari kata amirus dan abanyol, demikian tulis Prof. Edi Sedyawati. Dua kata itu mengacu pada pengertian pelawak atau seniman lawak. Yang menarik, dua kata itu mengacu pada profesi-profesi (pada jaman Jawa Kuno itu) yang dibebaskan dari pajak. Ini memperlihatkan posisi penting dan tinggi mereka yang bersatus pelawak. Bebas pajak itu, tentu saja tak ada kaitannya dengan program tax amnesty saat ini, hehe. Ada joke menarik soal pajak: “Pajak itu tidak susah. Yang susah bayar pajaknya.” Intermezo dikit ya.

Memilih pentuk pentas komedi juga sebuah pilihan yang didasari pada kekuatan yang ada pada humor sebagai critical discourse, yang bisa digunakan untuk melakukan koreksi agar bisa dilakukan penataan kembali hal-hal yang dianggap kurang patut. Humor menjadi upaya untuk meningatkan keadaban. Satire politik adalah suara kegelisahan masyarakat. Humor mempunyai potensi medekonstruksi dan  demitologisasi kekuasaan: memperlihatkan ketidakberesan dengan menertawakannya, dan manusia tertawa, menurut filsuf Schopenhauer, ketika menyadari adanya ketidakberesan itu.

Sebagaimana Gene Perret, pada dasarnya lelucon merefleksikan kebenaran; menjadi cara untuk memahami “realitas” dengan memperlihatkan ketidakberesan yang tersembunyi. Lelucon, ujar Friedrick Schiller, muncul karena ada distraksi atau bahkan ketidakcocokan antara Das sein (kenyataan yang terjadi) dengan Das sollen (yang seharusnya terjadi); kesenjangan antara praktik-kenyatan dengan norma-ideal.

Pada program Indonesia Kita tahun mendatang, kami akan mencoba memperluas wilayah garapan dan telah disiapkan beragam gagasan yang berangkat dari kesadaran bahwa proses akulturasi seni budaya terus berlangsung, dan datang dari pelbagai penjuru dunia. “Kami adalah ahli waris yang syah dari kebudayaan dunia,” begitu dinyatakan dalam Surat Kepercayaan Gelanggang.

Persilangan budaya memang telah berlangsung begitu panjang di jazirah Nusantara ini. Sejak era gemilang kerajaan seperti Sriwijaya dan Majapahit. Sebuah proses “silang benua lintas budaya” yang akan menjadi inspirasi pada pentas Indonesia Kita di tahun 2017 mendatang.

 

Agus Noor

Direktur Kreatif Indonesia Kita

(gambar ilustrasi oleh: Toni Malakian)

Tulisan di atas merupakan kolom ragam pada pertunjukan Indonesia Kita: Sabdo Pandito Rakjat