Kemerdekaan bukan sekadar penanda bebas dari penjajahan. Di dalamnya tersimpan janji tentang kehidupan yang lebih baik, adil, dan makmur bagi seluruh rakyatnya.
Para pendiri republik memahami kemerdekaan sebagai landasan untuk membangun sebuah negeri yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Hampir delapan puluh tahun berlalu setelah janji itu dicanangkan. Apakah hari ini, di tengah krisis biaya hidup, silangsengkarut politik, krisis iklim, dan berbagai tekanan lainnya, janji itu masih ampuh sebagai ‘bintang penuntun’ kehidupan bersama kita? Apa makna kemerdekaan hari ini bagi mereka yang dalam kesehariannya bergulat dengan ketidakadilan sementara sebagian elite justru tenggelam dalam privilese yang mereka ciptakan sendiri? Dan lebih penting lagi, apa yang membuat kita sampai pada kondisi seperti sekarang ini?
Si Manis Jembatan Merah karya Agus Noor mengajak kita menelusuri kembali perjalanan tersebut. Melihat kembali sejarah sebagai cermin untuk melihat kondisi saat ini. Betapa jauh kesenjangan antara apa yang dibayangkan saat awal kemerdekaan dulu dengan apa yang kita lihat sekarang. Kesenjangan itu menciptakan ruang, dan dalam ruang itulah kita bisa melakukan refleksi tentang apa yang salah dalam perjalanan kita sebagai bangsa? Mengapa kita gagal menjalankan amanat konstitusi, peraturan perundang-undangan, dan norma serta prinsip yang kita notabene canangkan sendiri? Dalam ruang itu kita bisa membayangkan reaksi dan sikap para pejuang dan pemimpin repu blik melihat tingkah polah para pembesar di masa sekarang. Mengapa dalam berbagai hal kita justru terpuruk dalam perilaku yang bahkan lebih buruk dari penguasa kolonial di masa lalu?
Penguasa kolonial sudah pergi tapi ketidakadilan terus berlanjut. Adalah Bung Karno yang mengingatkan saat berpidato memperingati Hari Pahlawan 10 November 1961: “perjuangkanku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Pertanyaannya kemudian di manakah perilaku kolonial itu mengendap? Apakah karena struktur kekuasaannya tetap tapi hanya berganti pejabat saja? Apakah karena sistem hukum kita yang masih kental warisan kolonialnya? Apakah dalam bangunan pemerintahan yang masih memancarkan bau kolonial? Kalau Mochtar Lubis benar bahwa manusia Indonesia itu munafik, enggan bertanggung jawab, berjiwa feodal, percaya takhayul, berwatak lemah, apakah ini bawaan lahir atau ada sistem yang membuat kita terus mewarisi sikap seperti itu?
Si Manis Jembatan Merah membuka ruang bagi kita untuk merenungi berbagai pertanyaan tersebut. Itulah fungsi karya seni sebagai kritik dan tidak ada yang lebih diperlukan untuk tumbuh sebagai bangsa yang dewasa daripada kritik yang berani dan berkualitas. Kritik yang bisa memperlihatkan akar persoalan karena tanpa memahami akar persoalan bagaimana mungkin kita melakukan perubahan? Tanpa itu semua bagaimana mungkin kita membayangkan masa depan yang lebih baik? Dan di sinilah kelebihan karya seni karena mampu masuk ke dalam relung kehidupan bersama dan menyentuh saraf kolektif kita, yang tidak bisa dijangkau oleh bahasa sains dan ilmu pengetahuan. Karya seni tidak sekadar memberi informasi tapi mampu menghadirkan rasa sebagai basis untuk bertindak dan berbuat. Di sinilah fungsi karya seni sebagai kritik yang terpenting.
Kelebihan Si Manis Jembatan Merah, semua ini disampaikan dengan tawa dan canda.
Dalam lakon ini Jembatan Merah adalah titik tumpu yang penting dan menentukan. Gagal mempertahankan jembatan ini maka seluruh kota akan dikuasai oleh musuh dan cita-cita kemerdekaan terancam kandas. Apakah kita mampu menjaga titik yang penting ini? Dalam refleksi terhadap kehidupan kita sekarang, ada banyak Jembatan Merah yang gagal kita pertahankan, ada banyak Jembatan Merah yang harus kita jaga agar tidak semakin jauh dari cita-cita kemerdekaan. Si Manis Jembatan Merah dalam konteks ini bukan sekadar tontonan di akhir pekan, tapi sebuah ajakan untuk menemukan Jembatan Merah kita hari ini. Sebuah ajakan untuk mempertahankannya sampai dengan segala daya yang kita miliki, untuk menjaga cita-cita kemerdekaan.
Jakarta, 17 September 2024
Hilmar Farid
Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(gambar ilustrasi oleh: Tony Malakian)