Kabayan adalah keluguan, kearifan, kecerdasan dan kejenakaan. Inilah local genius. Kita menemukan sifat dan watak seperti itu bukan hanya sebagai milik masyarakat budaya Sunda. Tapi juga pada tokoh-tokoh lokal di Jawa Mataraman melalui peran abdi dalam ketoprak, atau punakawan di jagat pewayangan. Peran jongos dalam ludruk. Wilayah-wilayah lain bisa menderetkan tokoh-tokohnya, siapa pun namanya. Agaknya tokoh laksana Kabayan memang representasi sifat dasar wong cilik Indonesia. Solusi pemikirannya kadang penuh kejutan dan serba tak terduga, tapi – setelah direnungkan – di sana kita menemukan kebenaran. Yang mendengar dan melihat hanya bisa manggut-manggut. Menyetujui. Membenarkan. Kita akur dengan segenap tingkah dan solusi yang ditawarkan manusia (ala) Kabayan, karena kita akhirnya menyadari bahwa hanya KEJUJURAN yang menjadi kebermulaan dari semuanya itu. Sebuah sikap yang sangat bernilai, terutama di antara gemuruh kebohongan para pemimpin dan politisi yang saban hari meneror kita. Sikap ala Kabayan tak ubahnya sebuah jeda di mana kita bisa menghirup kesegaran udara.
Berkaca kepada Kabayan, yang mengartikulasikan sikap dan pikiran secara lugas dan sederhana, seharusnya kita melihat bagaimana sebuah kejujuran mampu menggerakkan nyali. Nyali wong cilik yang selalu terusik untuk bertanya, mempertanyakan setiap keganjilan yang menyergap hidup mereka. Berani karena benar. Terlebih jika kaum Kabayan sedang dipaksa sebagai korban seperti yang terjadi di Lapindo Sidoarjo. Ketika kelemahan dibinasakan oleh keserakahan, kelemahan itu pun akan menjelma menjadi kekuatan, betapa pun sekadar untuk bertanya: di mana keadilan hendak memihak? Siapa sih yang rela terusir dari rumah tinggalnya, lalu dipaksa berspekulasi menjalani hidup di tengah genangan lumpur panas? Anda mau? Maka sangatlah mengherankan jika ada oknum yang secara terselubung punya andil menyengsarakan rakyat Sidoarjo dengan menciptakan danau lumpur itu, kok berani-beraninya mencalonkan dirinya sebagai calon pemimpin masa depan. Edan yang bener-bener kelewatan!
Saya memahami keberanian yang bergelora di sana, bukanlah sebuah militansi lantaran provokasi. Bukan tindak politik jangka pendek. Melainkan sebuah keniscayaan yang memang seharusnya terjadi. Dengan begitu, logika ala Kabayan hendaklah terus dirawat. Juga dijaga kewarasannya. Supaya orang tidak tergelincir dan terseret ke dalam kegilaan yang dari hari ke hari semakin menjauhkan diri dari budaya malu. Hanya dengan begitu orang tetap mempunyai stamina, minimal agar kuat bertahan dalam ketabahan yang menyengsarakan. Jika sikap-sikap ala Kabayan ambyar dan terkalahkan oleh keganasan naluri-naluri purba bernama kerakusan dan keserakahan itu, maka ambyar pula lah impian kita tentang sebuah Indonesia yang berkeadilan, menghormati kemajemukan dan Indonesia yang menyejahterakan. Sebab, tanpa manusia cerdas nan kritis ala Kabayan, demokrasi pelan-pelan akan mati karena kehilangan bandul perimbangannya. Hidup pun bakalan jomplang.