Pandemi Covid-19 nyaris melumpuhkan banyak aktivitas, termasuk dunia kesenian. Tapi selama pandemi, kita juga melihat daya tahan dan daya hidup kreatif para pekerja seni, yang tiada kenal menyerah karena keadaan yang mempurukkan. Saya yakin, selama pandemi, juga banyak hal yang bisa direfleksikan, direnungkan dan dicari kemungkinan-kemungkinan kreatif yang bisa dilakukan dan dikembangkan seputar dunia seni. Begitulah, saya percaya, ketika pada akhirnya “status pandemi” sudah dinyatakan lewat – setidaknya tak lagi tampak begitu gawat – maka kita (akan) menyaksikan produktivitas dan kreativitas para seniman yang tak terbendung. Sekarang: tinggal bagaimana ekosistem dunia kesenian kita bisa lebih saling mendukung, terutama mensinergikan berbagai sektor pendukung produksi kesenian, seperti peran sponsor (swasta) dan pemerintah, melalui regulasi atau program-program yang memberi ruang bagi produktivitas berkesenian.

Selama pandemi, program pementasan Indonesia Kita (yang biasanya digelar minimal tiga kali dalam setahun) pun “tiarap”, karena adanya bermacam pembatasan. Terutama pembatasan penonton. Banyak kelompok seni pertunjukan yang mensiasati situasi pandemi dengan menyelanggaran pertunjukan secara online atau daring. Pentas-pentas Indonesia Kita yang bergaya komedi, selalu memerlukan kehadiran penonton secara langsung di Gedung pertunjukan. Penonton yang datang secara langsung di gedung, jelas akan membuat permainan lebih maksimal. Kami selalu menyebut itu sebagai “energi penonton” yang tak bisa dipisahkan dari apa yang muncul di panggung. Itulah alasan, kenapa pentas Indonesia Kita tak digelar secara daring.

Dan kini, Indonesia Kita kembali menggeliat, menumpahkan perasaan kangen pada panggung dan kangen dengan para penonton yang telah menjadi bagaian tak terpisahkan dari pentas-pentas Indonesia Kita. Banyak penonton yang juga menyatakan kangen. Sudah rindu menyaksikan pentas Indonesia kita, agar bisa tertawa berjamaah dan merefleksikan beragam hal secara jenaka. Sepertinya, itu yang mereka rindukan.

Rindu bertemu rindu, hasilnya adalah pemen-tasan Tamu Agung ini. Sebelumnya, kami sempat menggelar pentas yang kami sebut sebagai “Kangen Indonesia Kita”, dengan lakon Tabib Suci, dipentaskan pertama kali di Yogyakarta, dan sempat digelar di Bontang dan Gresik. Semoga, lakon Tamu Agung ini pun bisa dipentaskan di kota lain di luar Jakarta. Problem terbesar etika kami (hendak) pentas di luar Jakarta, tentu saja pembengkakan biaya produksi. Satu penyebab nya adalah tiadanya gedung pertunjukan yang representatif dan memadai. Nyaris di banyak kota (bahkan di Surabaya yang notabene adalah kota terbesar kedua di Indonesia) tak ada gedung pertunjukan yang bagus. Umumnya gedung pertunjukan itu berupa gedung serba guna, yang bisa dan biasa dipakai untuk hajatan atau acara-acara lainnya. Membangun gedung pertunjukan yang bagus, sepertinya belum menjadi prioritas seperti membangun stadion olah raga bertaraf internasional atau sirkuit balap. Seudah terlalu sering kita “membanggakan diri sebagai negeri yang penuh keragaman budaya”, tapi malas membangun sarana pendukung untuk perkembangannya. Ketika Indonesia Kita pentas di Bontang dan Gresik, kami “terpaksa” menggunakan stadion olah raga. Karena itu kami mesti membangun panggung khusus untuk pertunjukan, dan ini berakibat pada membengkaknya biaya produksi.

Sudahlah, tak perlu berpanjang-panjang berkeluh kesah. Sekarang kita sambut saja kedatangan Tamu Agung. Bila Tuan dan Puan terbiasa menonton pertunjukan teater dan membaca karya-karya sastra dunia, pastilah akan dengan cepat mengenali kalau ide dasar lakon ini yang terinspirasi oleh satu karya lakon Nikolai Gogol (penulis Rusia) yang berjudul Inspektur Jenderal. Saya mengolah dan mengembangkan ide itu, agar makin menarik dengan isu-isu aktual hari ini, agar pertunjukan makin relevan dan cocok ketika dimainkan di panggung Indonesia Kita. Kisah saya olah dengan menggambarkan situasi ketika di pengujung kekuasaan seorang pemimpin yang telah berlangsung selama dua periode, muncul kabar tentang kedatangan Tamu Agung, yang dianggap bisa menentukan kepemimpinan selanjutnya.  Intrik dan persaingan penyambutan Tamu Agung pun berlangsung. Konflik dan rahasia yang selama ini disembunyikan, secara tak terduga justru mulai bermunculan, bersamaan dengan kemunculan Tamu Agung. Kita menyaksikan seorang pemimpin yang mulai ditinggalkan. Orang-orang yang berebut kekuasaan. Perselingkuhan yang disembunyikan. Goyahnya persahabatan. Semua karena Tamu Agung. Siapakah Tamu Agung itu?

Tuan dan Puan akan mengetahuinya, usai menonton lakon ini. Dan semoga, bisa bersama-sama merefleksikannya menjadi kesadaran. Karena memang begitulah semangat pertunjukan Indonesia Kita: ia tak hanya mengajak tertawa, tetapi menyampaikan satu pesan untuk menjadi renungan bersama.

Sebelum menutup pengantar ini, saya ingin mengajak Tuan dan Puan, untuk mengingat seorang kawan yang sejak awal turut membidani dan menggawangi Indonesia Kita, yakni almarhum Djaduk Ferianto. Sejak Indonesia Kita menggelar pentasnya pertama kali, lakon Laskar Dagelan, Djaduk selalu menjadi bagian dari proses kreatif. Pada lakon Tabib Suci dan Tamu Agung ini, meski Djaduk telah tak bersama kami, sesungguhnya ia tetap menjadi bagian semangat dan energi kami untuk sebaik-baiknya (dan tak lelah-lelahnya) mengembangkan seni pertunjukan di Indonesia. Satu hal yang selalu kami ingat dari Djaduk: ke-inginannya untuk membangun ekosistem kesenian yang saling mendukung, di mana semua yang terlibat bisa tumbuh dan berkembang. Itu terasa dalam keterlibatannya menumbuhkan Ngayog-jazz, Kua Etnika, dan juga Indonesia Kita.

Satu lagi kawan yang gugur, Antonius Gendel, yang selalu menjadi penata suara pentas-pentas Indonesia Kita. Sangat mengejutkan, ketika kami sedang mempersiapkan lakon Tabib Suci, Gendel meninggal sehari sebelum kami pentas di Bontang. Dalam suasana murung karena kehilangan, kami mesti tetap harus main, dan memainkan lakon yang mesti kocak pula. Dalam tawa ada duka yang menyayat.

Mari doakan yang terbaik untuk Djaduk dan Gendel, nun entah di mana, di tempat kita akan bertemu kembali dengan mereka.

 

Agus Noor

Direktur Kreatif Indonesia Kita

(gambar ilustrasi oleh: Toni Malakian)

Tulisan di atas merupakan kolom ragam pada pertunjukan Indonesia Kita: Tamu Agung