Biar pun lakon pertunjukan kali ini tajuknya menyebut buah apel, Apel, I’m In Love, ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan istilah sandi permalingan-resmi oknum partai penguasa yang muncul di persidangan TIPIKOR, Apel Malang dan Apel Washington. Memang, hari-hari belakangan idiom apel seakan-akan sudah ada yang memonopoli. Janganlah nantinya kami disomasi oleh pemilik copyright “apel” itu. Orang memang bebas menafsir dan menduga. Bahwa khalayak menduga-duga, membayangkan seolah-olah lakon kali ini berhubungan dengan apelnya para bandit itu – dan karenanya lalu terdorong datang menonton – tentu saja kami syukuri. Artinya Anda telah terkecoh dan “tersesat” ke jalan yang benar. Rupanya, hanya dengan begitu Anda akhirnya datang ke sini dan – insyaallah – bisa menemukan sisi lain Yogya.

Mungkin Anda akan melihat sebuah gaya teater dan cara ungkap yang berbeda. Teater musikal yang memanjakan keliaran imajinasi, dan membimbing fantasi kita ke dunia dongeng yang boleh dipertalikan dengan konteks sosial politik Indonesia hari ini. Apa yang tersaji barangkali sangat berbeda dengan edisi perdana INDONESIA KITA tahun lalu yang juga menampilkan budaya Yogya melalui pertunjukan “Laskar Dagelan” yang full cekakakan lantaran mengelaborasi kultur Dagelan Mataram dalam semangat kekinian. Yang Anda temukan kali ini memang bukan Yogya dalam sterotipe pemahaman banyak orang: kesenian dengan aroma tradisi yang kental, lawasan, sekadar gojekan, dan mengalir dalam irama lamban.

JogjaBroadway Apel, I’m In Love yang mengolah elemen-elemen artistik berdasarkan kekayaan visual yang melimpah dalam ragam seni di Indonesia ini, hendaknya diartikan sebagai usaha mengenalkan kreativitas berkesenian generasi baru yang memiliki cara ungkap dan tutur yang lain. Orang-orang tua acap kali kerap tergagap menyaksikan perbedaan cara mereka mengartikulasikan pikiran yang dirasanya ganjil. Dinilai tidak sopan. Atau dituduh tidak bermoral. Padahal bukan di situ soalnya. Hanya sebuah prasangka yang aslinya bermula dari ketidaksiapan melihat keberbedaan dan perubahan.

INDONESIA KITA tidak ingin menjadikan kesenjangan antargenerasi sebagai sebuah kesalahan. Melainkan ingin memahami sebagai keniscayaan yang memang semestinya harus terjadi. Keberbedaan itu justru sebuah kekayaan, dan karenanya harus diberi ruang supaya kreativitas berkesenian mendapatkan atmosfer pertumbuhannya yang sehat dan berkeadaban. Bukan atmosfer menakutkan sebagaimana belakangan seperti sengaja dipamerkan oleh mereka yang hidupnya merasa paling suci dan paling bermoral.