Manusia dan ular. Kedua makhluk hidup itu punya kesamaan dan perbedaan. Dari segi fisik, jelas berbeda. Namun bisa sama dalam tabiat, pembawaan, dan perilakunya. Bahkan dibanding ular, manusia bisa jauh lebih licik sekaligus jahat dan berbahaya. Ular adalah makhluk soliter yang hidup menyendiri di hutan belantara, padang pasir, batuan cadas, sawah berlumpur, ataupun sungai berkelok. Ia tak mengurusi leluhur, kerabat, atau anak-cucunya. Ia pun tak peduli atasan, pendukung, atau dinastinya. Ular menelan bulat-bulat mangsanya agar kenyang. Namun sekenyang-kenyangnya ular, tak bakal menghabiskan sumber daya alam.
Sementara manusia adalah makhluk sosial yang tak bisa hidup sendirian, selalu berkumpul dengan sesama dan membangun komunitas karena saling bergantung satu sama lain. Sebagai makhluk berakal dan hidup berkelompok, masing-masing manusia punya kehendak aspirasi yang beraneka rupa. Saking beragamnya aspirasi, kehendak manusia itu sering saling berbenturan. Dahulu kala, manusia mengatasi perbedaan kehendak di antara mereka dengan menerapkan hukum rimba. Mereka yang lebih besar, kuat, dan banyak akan menentukan nasib yang kecil, lemah, dan sedikit. Adapun mereka yang tak punya kuasa dipaksa menaati aturan si penguasa. Terjadilah tindakan tak terpuji. Merebak praktik diskriminasi, intimidasi, persekusi, dan main hakim sendiri. Apa saja dikapitalisasi, satu sama lain saling mengeksploitasi.
Kemudian agama datang membawa nilai kebajikan. Dibangunlah kesadaran untuk meningkatkan peradaban agar manusia lebih mulia daripada hewan. Hukum rimba tak lagi relevan. Manusia harus membangun dan menaati konsensus sebagai konsekuensi hidup bersama di tengah kemajemukan. Kesepakatan tentang aturan main hidup bersama menjadi acuan bagi semua warga dalam suatu wilayah. Dari situ lahir demokrasi, nomokrasi, dan konstitusi. Terbentuklah negara dengan beragam institusi yang dikelola penyelenggara birokrasi beserta aparatur sipil dan bersenjata mengawal negeri.
Syahdan, sesungguhnya beragam aspirasi manusia dalam menata kehidupan bersama itu bertujuan baik. Namun kebaikan tak cukup hanya diimani dan diyakini, melainkan harus pula diwujudkan dan diamalkan. Kebaikan tak cuma ide yang bersemayam di alam khayalan saja, tapi harus diejawantahkan di alam nyata. Kebaikan tak hanya untuk mengisi ruang pikiran dan hati, ia harus membumi. Karena itu, kebaikan memerlukan tangan dan kaki
Banyak orang lalu berburu kuasa. Sebab kuasa dipersepsi sebagai tangan dan kaki yang mampu menjadikan aspirasi terimplementasi. Agar tak saling berbenturan, dirumuskanlah kesepakatan bersama berupa hukum sebagai pedoman dalam mendapatkan dan menggunakan kuasa. Disepakatilah nilai dan etika hukum yang tak hanya sebagai landasan pijak saat menapak, tetapi juga menjadi arah orientasi kemana hendak melangkah bergerak. Nilai moral dan etik yang bersumber dari ajaran agama dan kearifan hidup para leluhur itulah yang menjiwai hukum menjadi ruhnya.
Kuasa sesungguhnya alat kebaikan yang dipergunakan untuk menyingkirkan keburukan. Penguasa yang luhur budi akan senantiasa menjadikan kuasa sebagai amanah untuk menjunjung tinggi keadaban mulia, kemanusiaan, persatuan, keadilan, dan kesejahteraan sosial. Kebijakan yang terlahir dari kebijaksanaan akan membuahkan kebajikan. Hukum yang ditegakkan dalam kuasa yang beretika akan mewujudkan kemaslahatan bersama.
Hukum tak hanya menata bagaimana kuasa didapat dan dikelola. Kuasa dihadirkan tak hanya untuk mencegah dan memberi sanksi kepada sesiapa yang merusak tatanan hidup bersama. Ia hakikatnya adalah nilai yang menumbuhkan dan menyemai rasa (kesadaran diri) bahwa kuasa dimaksudkan untuk menjaga dan merawat kehidupan bersama yang menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan, kemaslahatan, dan nilai-nilai luhur lainnya.
Maka ketika hukum dihadirkan sekadar sebagai pemenuhan syarat legalitas untuk mendapatkan kuasa demi kepentingan pragmatis dan praktisnya saja, kuasa tersebut telah kehilangan nilai sebagai ruhnya. Manusia yang merekayasanya telah kehilangan rasa. Kuasa yang tanpa nilai dan rasa seperti itu bak kobaran api yang tak terkendali. Ia akan membakar apa dan siapa saja yang ditemui, sampai pada akhirnya membakar dirinya sendiri. Kita semua berlindung kepada Sang Penguasa Semesta dari kuasa tanpa rasa.
Lukman Hakim Saifuddin
Pemerhati Sosial Agama
(gambar ilustrasi oleh: Tony Malakian)