Indonesia, sejak awal ketika semangat kebangsaan tumbuh sebagai sebuah gagasan, harapan, impian, dan cita-cita bersama, banyak tereskpresikan dalam beragam bentuk kesenian. Dalam puisi, novel naskah lakon, juga lagu. Kita bisa merasakannya dalam puisi “Tanah Air” karya Mohamad Yamin. Kita juga menemukan ekspresi kebangsaan itu dalam novel-novel Sutan Takdir Alisjahbana, dan para sastrawan lainnya. Bahkan, bila kita mau menyimak lirik lengkap Indonesia Raya, yang kemudian menjadi lagu kebangsaan, kita akan menemukan bagaimana Indonesia menjadi gagasan yang mesti terus diperjuangkan dan diwujudkan.

Tiga stanza lirik Indonesia yang ditulis WR. Supratman, tiada lain ialah gagasan tentang Indonesia yang dicita-citakan. Tak hanya Indonesia yang (telah) merdeka, tetapi juga mesti mencapai “Indonesia yang Mulia”. Indonesia yang Mulia itu ialah Indonesia yang “sadar budinya”. Dengan kesadaran budi itulah, Indonesia akan abadi. Kesadaran budi akan dicapai dengan cara “membangun kebudayaan” yang tak hanya akan menjadi “identitas kebangsaan” tetapi juga akan mampu menjadi semangat untuk merawat kebangsaan. Saya kira, itu pula yang menjadi semangat dan kesadaran ketika para intelektual dan tokoh politik mendiskusikan tentang “akan seperti apa jalan kebudayaan Indonesia yang akan dipilih”, yang kemudian kita kenal sebagai Polemik Kebudayaan.

Perdebatan atau “polemik” itu berlangsung di koran Suara Umum, Bintang Timur, dan majalah Pujangga Baru. Dipicu ketika Sutan Takdir membedakan dua periode kebudayaan dalam artikelnya yang berjudul “Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru”, di Pujangga Baru pada bulan Agustus 1935. Tulisan Sutan Takdir ini kemudian ditanggapi oleh Sanusi Pane pada bulan September 1935. Kemudian beberapa yang lain menanggapi, seperti Sanusi Pane, R. Sutomo, Purbatjaraka, Ki Hadjar Dewantara. Himpunan tulisan polemik itu kemudian dibukukan oleh Achdiat K. Mihardja.

Hari-hari ini, rasanya menjadi momentum yang menarik untuk kembali mengingat gagasan-gagasan seputar polemik kebudayaan itu, ketika kita kini punya Kementerian Kebudayaan. Tentu itu harapan yang memang sudah lama dirindukan terwujud: menempatkan kebudayaan sebagai bagian dari gagasan kebangsaan. Kebudayaan sebagai sebuah jalan, way of life satu bangsa, yang tak hanya berkutat hanya seputar bentuk-bentuk kesenian, tetapi pada semangat dan nation identity. Juga kebudayaan sebagai dasar pemikiran yang akan menggerakkan arah kemajuan bangsa. Kebudayaan yang tak hanya jadi instrumen pendukung atau pelengkap seremonial acara-acara kebangsaan.

Bagaimanapun sampai hari ini apa yang kita bayangkan sebagai Indonesia (dan atau ke-Indonesia-an) adalah sebuah proses yang terus bergulir. Secara politik memang sudah ada kesepakatan (baik lewat Sumpah Pemuda atau Proklamasi 1945), tetapi tanpa semangat dan jalan kebudayaan yang bisa terus menjaga dan merawat Indonesia sebagai impian bersama, sebagai “rumah bersama”, saya rasa “ke-Indonesia-an” masih saja akan menjadi sesuatu yang rentan. Terlebih ketika politik, praktis hanya berkutat pada persoalan bagi-bagi kue kekuasaan. Politik kita semakin jauh dari pertukaran gagasan yang bisa membawa pada “Indonesia yang Mulia” sebagaimana dibayangkan WR. Supratman dan para pelopor kemerdekaan dulu.

Ki Hajar Dewantara dengan jernih menyebut betapa kebudayaan ialah “buah budi”. Dan “buah budi” itu menjadi cerminan nilai kebangsaan. Ki Hajar Dewantara menyebut soal “cipta, karya, karsa” yang akan menjadi dasar penciptaan dan pencapaian kebudayaan yang “berjiwa nasional”. Buah budi itu tentu saja landasan utamanya adalah budi pekerti, etik, dan moral. Kebudayaan adalah konteks kebangsaan, semestinya mencerminkan pencapaian “budi pekerti” itu. Tak hanya sekadar soal produk budaya, kesenian atau serangkaian seremoni tradisi.

 

Agus Noor

Direktur Artistik Indonesia Kita

(gambar ilustrasi oleh: Tony Malakian)

Tulisan di atas merupakan kolom ragam pada pertunjukan Indonesia Kita: Putra Sang Maestro