Jika program “Indonesia Kita” kali ini kembali ke rumah kelahirannya, manggung di Teater Besar, Taman Ismail Marzuki, bukan berarti kami takluk, menyerah dan memasrahkan diri terhadap kebijakan yang keliru. Kami tetap mencoba konsisten. Menolak kompleks Kesenian Jakarta dikelola Jakpro, BUMD DKI yang tugasnya mencari laba sebanyak-banyaknya. Kami tidak membenci Jakpro. Kami hanya sulit bersepakat dengan penyimpangan gagasan dasar berdirinya PKJ-TIM. Semula sebagai investasi kultural, tempat menyiapkan generasi baru di bidang kesenian dan lahirnya sumber daya manusia yang terasah naluri artistiknya, diubah menjadi tempat bisnis. Tempat transasksional. Tempat mencetak dan mengeduk keuntungan finansial. Sampai hari ini kebijakan Gubernur DKI Anies Baswedan ini masih penuh kontroversi. Para seniman yang paham sejarah dan benar-benar mengerti bagaimana menumbuhkembangkan kesenian-kebudayaan sedang berjuang di Mahkamah Agung untuk minta peninjauan kembali kebijakan yang tidak bijaksana itu. Sikap kami jelas, berada di barisan yang berjuang menolak Jakpro mengelola PKJ-TIM. Marwah TIM harus dikembalikan sebagai Pusat Kesenian. Bukan kawasan perdagangan.
Untungnya, di tengah kontroversi yang masih tarik ulur antara Jakpro dan Dinas Kebudayaan DKI itu, masih ada celah yang memungkinkan seni pertunjukan berbasis budaya – bukan yang industrial – bisa memanfaatkan fasilitas yang ada. Dengan sewa Gedung yang harganya relatif terjangkau. Itu sebabnya kami masih berkemungkinan manggung di sini. Manggung di Graha Bakti Budaya tempat dulu kami biasa manggung, yang kini pengelolaannya di bawah Jakpro, bagi kami kayaknya hil yangmustahal.
BINATANG EKONOMI
Menurut gosip resmi, konon sewanya Rp. 180 juta untuk 8 jam. Hitung saja jika setiap pementasan kami harus menyewa lima hari, untuk persiapan dan pementasan, duit dari mana yang harus kami bayarkan? Lalu harga tiket akan dijual berapa puluh juta untuk satu kursinya? Siapa penontonnya jika tiketnya mahal? Lalu bagaimana keseniankesenian eksperimen yang masih mencari bentuk dan berjuang menciptakan basis penontonnya? Lebih tragis lagi, konon gedung pertunjukan GBB bisa disewa untuk kegiatan apa pun yang tidak bertalian dengan kerja kesenian seperti tempat pernikahan, launching produk, kegiatan politik dan sebangsanya.
Program “Indonesia Kita” sebagai ikhtiar menghayati keindonesiaan kita melalui jalan kebudayaan, harus bergerak di atas rel yang diyakini, yaitu rel yang bisa menghantar kita ke masa depan yang lebih baik. Bahwa dalam hidup ini kita tidak semata-mata memanjakan diri sebagai binatang ekonomi, yang dimahkotai oleh keserakahan saja. Tapi kita juga manusia kebudayaan. Manusia yang memiliki adab, sopan santun, punya nurani yang musti diasah, mengenali sejarahnya, punya kepekaan sosial dan kemanusiaan yang senantiasa harus dipertajam. Kesenian, selain berurusan dengan penggalian dan pengembangan citarasa artstik, juga mengemban tugas kebudayaan itu.
Itu sebabnya, ketika dahulu gubernur Ali Sadikin akan menjadikan TIM sebagai tempat komersial, dia mendapat tentangan dari seniman budayawan seperti Asrul Sani, Ajip Rosidi, Trisno Sumardjo, Djaduk Djajakusuma dll. Ali Sadikin tersadarkan. Telinganya cukup beradab menerima pemikiran mereka yang memang ahli di bidang nya. Bahwa TIM adalah satu ekosistem tempat bertumbuh dan berkembangnya manusia-manusia kesenian. Karena itulah yang menghi dupi TIM sumbernya APBD DKI. Ini investasi. Bukan untuk mencari keuntungan. Tugas gubernur bukan hanya membelanjakan anggaran, apalagi memboroskan sesuka hati, tapi juga memberikan pelayanan untuk tumbuh kembangnya generasi baru yang berkualitas.
MENJADI KIBLAT
Maka, saat itu TIM tidak hanya menyediakan ruang-ruang presentasi seperti Teater Arena, Teater Tertutup, Teater Terbuka, dan gedung bioskop, tetapi juga memiliki studio latihan tari Huriah Adam dan LPKJ (sekarang IKJ, Institut Kesenian Jakarta). Pararel dengan keberadaan TIM, ketika itu juga dibangun gelanggang remaja di setiap wilayah, tempat anak-anak muda mengembangkan bakat seni dan mencari identitas diri. Ekosistem inilah yang menyebabkan TIM berwibawa. Bahkan pada suatu periode pernah menjadi semacam Mekahnya kesenian Indonesia. Menjadi kiblat. Seniman tampil di TIM ibaratnya memperoleh paspor menuju jagad kesenian kontemporer. Memperoleh legitimasi. Begitulah, jika hari ini Gubernr DKI Anies Baswedan menja dikan Jak-pro sebagai induk utama TIM, menjadikannya sebagai lahan bisnis, menurut saya, itu merupakan pengkhianatan murni terhadap visi Ali Sadikin, dan terhadap cita-cita serta gagasan dasar berdirinya TIM. Bangsa yang beradab adalah bangsa yang tidak sembrono berspekulasi mempermainkan masa depan generasi-generasi baru. Semoga catatan ini mampu menembus telinga-telinga yang tuna budaya. Telinga yang tuli permanen. Jangan pernah kapok menjadi Indonesia!!!
Buter Karteredjasa
Direktur Kreatif Indonesia Kita
(gambar ilustrasi oleh: Toni Malakian)