Julini mungkin telah pergi jauh, jauh sekali hingga ia tak punya jalan untuk kembali. Tapi ia akan dan harus terus hadir di tengah kita. Ia tak perlu mati.

Mungkin ia tak lagi hadir dalam sebuah opera yang dipersembahkan khusus untuk dirinya (dalam trilogi “Bom Waktu”, “Opera Kecoa”, “Opera Julini”). Tetapi ia,seperti semua karakter monumental, bisa hadir dalam aneka bentuk lain.

Lakon “Julini Tak Pernah Mati” ini adalah penegasan tentang kekekalan kehadiran itu.

Ia memang canggung. Ia tak pernah mudah menempatkan diri. Pilihan tindakannya selalu seperti serba salah; ia hidup konstan dalam labirin dilema. Meski biologi memastikan bahwa dirinya tak kekurangan apa-apa, tapi norma sosial- budaya mendiktekan hal lain. Yang divonis bermasalah tak kurang dari eksistensi dirinya. Pagar-pagar sosial-budaya tanpa ampun menghardik wujudnya, bahkan dalam keadaan ia diam tak berbuat apapun.

Julini ingin memangkas pagar-pagar itu, kalaupun ia tak mampu mencerabutnya dari lahan sosial tempat mereka terhujam dalam. Hak hidup dirinya sama sempurnanya dengan semua manusia lain penghuni bumi tunggal ini; serupa dengan hak hidup kucing dan burung-burung.

Apakah Julini berhasil? Tak jarang ikhtiar dan spirit lebih penting daripada hasil. Keberhasilan juga bisa dinilai dengan berbagai cara.

Fakta bahwa ia pernah hidup, dan sejak itu tak pernah mati, adalah kisah sukses tersendiri.

Julini juga seperti Nobertus Riantiarno. Ia mungkin telah pergi ke tempat yang sangat jauh, dua bulan lalu. Tapi jejaknya sepanjang lima dekade dikancah teater Indonesia tak akan mati. Penggalan-penggalan jejak itu terlalu tebal untuk terhapus.

Ia menumpahkan seluruh energi hidupnya pada teater, seraya memahami bahwa ladang itu bukan hanya tak subur, tapi bahkan sering penuh ranjau, seperti ia rasakan sendiri ketika pentas-pentasnya dibungkam penguasa — tapi premanisme politik itu selalu ia hadapi dengan kegigihan yang mengherankan.

Julini dan Nano hanya koma, tak pernah mati. Keduanya juga hanya koma, tak pernah titik.

 

Hamid Basyaib

(gambar ilustrasi oleh: Toni Malakian)

 

Tulisan di atas merupakan kolom ragam pada pertunjukan Indonesia Kita: Julini tak Pernah Mati