Jauh sebelum kemerdekaan, kelompok sandiwara Komedie Stamboel yang lahir di Surabaya pada 1891 telah mengusung pentingnya mengimajinasikan sebuah identitas tunggal. Meski bukan dalam kerangka politik untuk kemerdekaan, Komedie Stamboel secara sadar melakukan difusi kebudayaan antar-etnis, dengan menyatukan seluruh keping kesenian yang ada di Hindia Belanda. Orang-orang Euroasia (Indo) seperti Auguste Mahieu, yang tidak mampu berbahasa Belanda, menyadari pentingnya mencari rumusan identitas baru.
Mahieu, yang lahir dan hidup di Krambangan, Surabaya, tidak mengenyam pendidikan tinggi. Ia kemudian menjadi salah satu penggagas berdiri nya Komedie Stamboel, yang pada awalnya disebut sebagai drama musikal Eropa dalam versi Melayu. Sandiwara ini pada setiap pentasnya menggunakan bahasa Melayu, tetapi memainkan lakon-lakon dari Timur Tengah seperti Kisah 1001 Malam dan Alibaba. Terkadang pula mementaskan lakon-lakon Eropa seperti Dr Faust dan Putri Salju serta di lain waktu membawakan kisah lokal Nyai Dasima atau Perang Lombok. Sekali-sekali mereka bahkan mengadaptasi kisah-kisah tragedi Shakespeare.
Make up para aktornya sangat dipengaruhi kemegahan make up dan kostum drama-drama Eropa pada awal abad ke-19. Banyak peneliti menyebut kata “stamboel” sendiri berasal dari kata “Istamboel” di Turki. Penyebutan itu diasosiasikan sebagai bentuk pertunjukan mereka yang mengambil gaya timur tengahan, tetapi berisi panggung dansa Eropa dengan irama keroncong.
Hal penting yang harus dicatat, seluruh awak dan aktornya diisi oleh kelompok pribumi seperti Jawa dan Madura, lalu Asia Asing (Tionghoa, India, dan Arab), serta Euroasia. Sebagian besar penontonnya adalah orang-orang Belanda yang ada di Hindia Belanda. Kelompok ini tercatat pernah pentas di Singapura dan Malaya (Malaysia). Pentas-pentas Komedie Stamboel didanai oleh semacam kongsi dagang Tionghoa yang dipimpin Yap Gwan Thay. Komedie Stamboel kemudian diikuti oleh kelompok-kelompok lain seperti Komedie Miss Riboet Orion (1925), Komedie Dardanella (1926), dan Kelompok Sandiwara Miss Tjitjih (1928).
Pentas Toean Besar ingin kembali mengajak Anda mengingat masa-masa awal munculnya teater modern di tanah Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Realitas panggung yang ada dalam stamboel tak hanya diambil sebagai bentuk pementasan, tetapi semangat cross identity dijadikan pedoman untuk mengimajinasikan tentang kondisi Indonesia kontemporer. Bukankah sejak awal para founding fathers negara ini telah sepakat bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang didasari oleh nilai-nilai binneka tunggal ika. Negeri multikultural yang disatukan ke dalam bingkai negara Pancasila.
Dalam Toean Besar, Anda akan menemukan bingkai stamboel, di mana para aktor menggunakan kostum gemerlap seperti era akhir tahun 1800-an, make up yang menor seperti dalam komedi Eropa, serta tari, musik, dan lagu yang mengingatkan kita kepada era dansa-dansi zaman dahulu. Merawat ingatan di masa lalu dibutuhkan tidak hanya sebatas pakaian, tetapi jauh menelusur sampai ke inti dari semangat peradaban di masa itu, yakni: persilangan kebudayaan untuk membenihkan identitas baru.
Toean Besar mencoba bereksperimen secara komikal dengan melakukan “pertukaran identitas etnis dan bahasa”. Dalam prinsip ajaran ini disebut sebagai tat twan asi, aku adalah kamu dan kamu adalah aku. Bagaimana kalau sesekali aku bertukar identitas dengan dirimu, apa yang terjadi? Dalam bingkai politik kebangsaan, itulah yang terus-menerus harus diembuskan untuk semakin memperkokoh identitas tunggal bernama: Indonesia. Tetapi dalam bingkai kemanusiaan, maka ajaran ini menjelma sebagai compassion, atau bahkan empati, rasa yang lebih dalam dari sekadar kasih sayang.
Bahwa sejak dahulu kebinekaan menjadi warisan yang niscaya. Perbedaan etnis, kebudayaan, bahasa, dan agama tidak boleh menjadi halangan untuk saling memiliki negara bernama Indonesia. Rasanya Toean Besar berjalan seiring dengan cultural project seperti Indonesia Kita, yang sudah berlangsung sebanyak 33 kali. Panggung teater sebagaimana pula Komedie Stamboel, sangat dimungkinkan sebagai wahana eksperimen difusi, di mana perembesan kebudayaan satu sama lainnya menjadi tampak lebih nyata. Bahkan kita saksikan bersama-sama dalam nuansa yang lebih estetik.
Oleh sebab itulah Toean Besar tak sekadar tontonan yang menghibur dan kemudian kita tertawa bersama, tetapi lebih-lebih adalah sebuah upaya untuk menggugah kesadaran kita kembali tentang betapa beragamannya Indonesia. Indonesia tidak dibangun di atas dominasi mayoritas, tetapi konsep hidup berdampingan dalam semangat kebersamaan yang saling memiliki. Semoga pentas ini memberi kita alternative untuk semakin mengukuhkan jati diri sebagai bangsa yang terus eksis di mata bangsa-bangsa lain di dunia.
Mari sejenak kita memasuki masa lalu, memasuki aura era stamboel, untuk kemudian menyusun masa depan, yang lebih berkebudayaan, yang lebih melihat Indonesia sebagai karya imajinasi yang agung. Dan kita akan terus berenang-renang di dalamnya, dari pulau ke pulau, yang berjajar dari Sabang sampai Merauke, dari Aceh sampai Papua….
Putu Fajar Arcana
Tim Kreatif Indonesia Kita
(gambar ilustrasi oleh: Toni Malakian)