Dalam satu pertunjukan Srimulat, maestro komedian almarhum Asmuni menghardik: “Enggak mungkin. Enggak mungkin. Orang kaya kok salah!” Asmuni kesal karena diprotes dan bahkan digugat orang-orang yang menganggap tindakannya sebagai orang kaya selalu semau gue, arogan, sewenang-senang dan suka melampaui batas.
Dilihat dari logika biasa, ungkapan tersebut akan berarti: seburuk apa pun, tindakan orang kaya adalah kebenaran. Meski yang dia lakukan salah, karena dia kaya maka semuanya jadi sah. Sebaliknya, jika yang kau lakukan benar, tapi karena kau miskin, maka tindakanmu tidak sah dan karenanya kau pasti salah. Kok bisa? Tentu, karena kau miskin. Itu kesalahan terbesarmu di dunia yang fana ini.
Ya. Kebenaran memang membutuhkan legitimasi dan justifikasi atawa pembenaran.
Tak penting benar dari mana sumber legitimasi itu. Dengan modal ekonomi yang besar, orang dapat mengkoversinya menjadi modal kuasa politik dan bahkan modal kultural. Begitu juga sebaliknya, modal politik dan kultural dapat dikonversi menjadi modal ekonomi. Segala sesuatu dapat ditransaksikan: jabatan, identitas, status sosial, ideologi, bahkan juga agama, suatu saat dapat dibeli dan dibuang begitu saja jika dianggap tidak sesuai kebutuhan. Benar salah, suka-suka gue, elo mau apa?
Tapi, lantaran diungkapkan dengan gaya yang sangat kocak, maka kata-kata Asmuni itu menjelma sarkasme ekstrem: kita mustahil menemukan makna atau nilai dari tingkah polah orang kaya yang tampak konyol itu. Dan dalam lakon Orang Orang Berduit ini, muncul seruan heroik: “Dengan kekayaan, kalian bisa mengatur kekuasaan, membeli kebenaran, membiayai kebencian atau membuat sejarah kalian tampak megah. Tapi ada yang tidak bisa dibeli dengan duit kalian!”
Jika Asmuni bicara dengan gestur kocak, di lakon Orang Orang Berduit ini terasa kemarahan dan bahkan rasa muak di ubun-ubun. Juga kritik yang telanjang dan eksplisit sembari menandaskan bahwa di balik yang material (modal ekonomi dan kuasa) terdapat sesuatu yang tak terjangkau dan tak ternilai, sesuatu yang immaterial. Sesuatu yang melampaui modal apapun.
Patut diingat bahwa modal material itu memerlukan realisasi dalam berbagai bentuk, sebagai ekstensi diri sang pemegang modal. Dulu orang percaya bahwa keberadaban lahir dari golongan menengah dan elite yang kemudian menciptakan tata sosial dan politik baru yang rasional berikut tata budaya tinggi penyangganya. Golongan menengah adalah agen transformasi sosial-budaya sekaligus motor penggerak perubahan dalam masyarakat.
Tapi rupanya hal itu tidak terjadi di Indonesia. Dulu, pada dekade 1980-an banyak pakar sosial yang menilai bahwa mayoritas lapisan menengah dan elite ekonomi kita yang sukses berjaya bukan karena kehebatan kewirausahaan dan kemampuan profesionalnya yang mumpuni, melainkan karena ber-kong-kalikong sembari menyusu penguasa Orde Baru. Kapitalisme Indonesia tergolong kapitalisme semu (ersatz capitalism).
Dan setelah Orde Baru tumbang, aksi susu-menyusu, suap-menyuap, beli-membeli itu terus berlangsung dalam bentuk yang semakin beragam pula. Semua orang dapat ambil bagian dalam transaksi ekonomi, sosial dan kultural yang pragmatis. Korupsi dan perdagangan legitimasi di pasar ekonomi dan kuasa semakin menggila. Kini justru kuasa yang menyusu pada kaum modal. Pun munculnya rupa-rupa tabiat baru sebagai aksi unjuk diri dalam riuhnya gincu identitas baru di medan sosial yang sangat cair.
Artinya, orang-orang berduit di sini ternyata belum dapat memainkan peran positifnya secara sosio-kultural. Yang terjadi adalah ekstensi diri dalam bentuk-bentuk yang instan, sebagaimana proses mendapatkan modal ekonominya yang berlangsung secara instan pula.
Tentu, itu semua menjadi bahan yang menarik bagi seni panggung seperti pementasan lakon Orang Orang Berduit ini. Tapi perlu diingat ungkapan pujangga Inggris DH Lawrence: “Bahkan dibutuhkan modal untuk membangun moral”, dan sebagai penonton pertunjukan ini, boleh jadi akan lebih asyik dan enteng menerima kritikan maupun ejekan jika berposisi sebagai orang berduit. Rasanya juga lebih bermoral jika mengritik atau mengejek orang kaya ketimbang mencemooh orang miskin.
Adi Wicaksono
(gambar ilustrasi oleh: Toni Malakian)