Salah satu kesimpulan dari riset kecil yang penulis lakukan dalam lawatannya ke beberapa kota di Amerika beberapa tahun yang lalu adalah perbedaan dalam hal tradisi menonton pertunjukan. Tradisi menonton pertunjukan yang berlangsung di Amerika saat ini merupakan bangunan dari tradisi yang telah berlangsung sejak sejarah seni pertunjukan dimulai di sana.

Sementara yang terjadi di Indonesia (khususnya di kota) tradisi menonton yang berlangsung saat ini bukanlah kesinambungan atas tradisi menonton yang pernah ada di sejarah seni pertunjukan sebelumnya. Tradisi menonton pertunjukan di masa keemasan kesenian tradisional di Indonesia terputus semenjak fase kematian kesenian tradisional. Ada banyak situasi yang ‘mendukung’ terjadinya kematian kesenian tradisional ini. Mulai dari peran negara yang kosong hingga datangnya gelombang globalisasi yang tak mampu disikapi secara produktif oleh masyarakat kesenian tradisional di Indonesia.

Seni pertunjukan kontemporer yang berkembang saat ini tidak dipungkiri merupakan anak kandung globalisasi. Walau demikian seni kontemporer yang berkembang di sini senyatanya sudah mengalami banyak perubahan/penyesuaian hasil dialektika para pelaku kesenian kontemporer dalam menghadapi dua situasi yang seakan saling berkutub. Antara tradisional dan global. Hal yang sama terjadi pada sisi apresiasi publik atas seni pertunjukan kontemporer. Sebagai sebuah kesenian yang datang kemudian, seni pertunjukan kontemporer harus membangun infrastrukturnya dari titik nol. Infrastruktur pengetahuan, produksi, dan apresiasi. Untuk dua infrastruktur yang pertama lebih banyak berurusan dengan pelaku seni pertunjukan sendiri sementara untuk yang ketiga yaitu infrastruktur apesiasi mesti berurusan dengan publik yang luas. Dan ketika sebuah hajat melibatkan pihak lain (dalam hal ini publik) mau tidak mau logika dan cara tatap publik mutlak ditimbang atau dilibatkan.

Tidak banyak pelaku seni kontemporer mengetahui hal tersebut dan melakukannya dengan penuh kesadaran. Apresiasi publik di sini tidak menunjuk pada jumlah (kuantitas) orang yang menjadi apresian dalam sebuah peristiwa seni pertunjukan ketika diberlangsungkan. Melainkan bagaimana pelaku seni pertunjukan kontemporer menimbang logika dan cara tatap publik atas satu isu yang sedang disampaikan melalui karyanya. Di belahan yang lain, globalisasi dihadapi dengan sikap dan cara yang lebih produktif. Pelaku kesenian populer lebih rileks dan produktif dalam menghadapi terpaan gelombang globalisasi sebagai sebuah tawaran nilai baru atau alternatif. Dengan sikap rileks dan cara berdialog yang banyak menimbang cara tatap publik ini, membuat kesenian populer mendapatkan ruang apresiasi dari publik yang lebih besar. Di luar pilihan pelaku kesenian populer untuk melibatkan cara tatap publik, sebenarnya dalam diri publik atau masing-masing orang ada sebuah kebutuhan untuk mendapatkan sensasi menjadi bagian dari sebuah peristiwa seni secara langsung. Hal ini yang kita sebut sebagai kebutuhan menonton atau terlibat secara langsung; kini dan di sini. Ketika kebutuhan terlibat (sebagai penonton) dalam sebuah peristiwa seni ini bertemu dengan pelaku seni populer yang memberi ruang kepada publik (penonton) akan menjadi satu pertemuan yang produktif.

Yogyakarta sebagai kota yang berakar budaya kuat dan memberi ruang bagi berkembangnya tradisi berpikir mempunyai potensi kreativitas yang hampir tidak terbatas. Berbagai potensi dan peluang yang ada di Yogyakarta membuka kemungkinan bagi pengembangan sebuah ruang wisata pertunjukan yang kreatif-menghibur. JogjaBroadway sebagai sebuah event wisata pertunjukan yang lahir di kota yang tidak pernah mati energi kreatifnya ini, mencoba membangun satu pertemuan yang berbasis pada kebutuhan publik akan keterlibatannya dalam peristiwa seni pertunjukan kontemporer. JogjaBroadway memberikan pengalaman berbeda dalam menikmati Yogyakarta melalui ruang wisata pertunjukan.

JogjaBroadway dikerjakan dengan pendekatan kolaboratif-lintas disiplin (tari-musik-teater-rupa) yang mengusung nilai estetika dan artistik kekinian (kontemporer). Digelar pada musim liburan dengan durasi event selama satu minggu dengan jumlah pertunjukan sebanyak dua kali setiap harinya, JogjaBroadway memberikan ruang hiburan yang imajinatif, cerdas, dan edukatif bagi mereka yang berwisata ke Yogyakarta. Berbagai aktivitas kesenian, aneka permainan dan art coaching clinic seperti menggambar, menyanyi, memasak bersama, kontes drum, mendongeng, magician contest, stilt walking dan lain-lain akan mewarnai kemeriahan JogjaBroadway. Kebutuhan akan menonton pertunjukan seni secara langsung dan sensasi keterlibatan dalam peristiwa seni akan dimanjakan sepenuhnya selama Jogja-Broadway berlangsung.

JogjaBroadway: Cara Beda Mononton Yogya. Jangan berlibur ke Yogya sebelum klik Jogjabroadway.com. Sampai bertemu di JogjaBroadway musim ini, 11-15 Juli 2012!

Kusworo Bayu Aji
Produser Eksekutif Garasi Enterprise