Seorang kawan yang pesimis mengatakan: sebagai bangsa kita seperti mendapat kutukan. Apa sebenarnya kesalahan yang telah kita lakukan, hingga persoalan demi persoalan datang silih menimpa bagaikan kutukan yang tak habis-habisnya. Kutukan itu bukan hanya soal kemiskinan yang seolah-olah tak akan pernah bisa kita selesaikan. Keadilan yang makin jauh panggang dari api. Dalam pemimpin, kata kawan itu, kita pun seperti mendapat kutukan. Nyaris kita hanya memperoleh pemimpin yang kualitasnya bukan mampu memecahkan menyelesaikan persoalan, namun hanya bisa prihatin.

Serangkaian pementasan Indonesia Kita, sesungguhnya sebuah upaya untuk menghindar dari pesimisme semacam itu. Perlu terobosan dan usaha kreatif yang terus-menerus, agar proses berbangsa dan bernegara tidak melelahkan dan kehilangan harapan.

Jalan kesenian, jalan kebudayaan, menjadi satu alternatif untuk menuju Indonesia yang kita cita-citakan bersama, ketika jalan politik atau hukum nyaris mendekati bangkrut. Kita, kata kawan saya lagi, seperti Malin Kundang yang menanggung kutukan. Pernyataan ini membuat saya kemudian mencoba memahami kisah Malin Kundang, untuk diolah dalam pertunjukan yang mengolah khasanah seni budaya Minang. Bertemu dengan seniman-seniman di Padang, semakin membuka kesadaran saya: betapa ada kegelisahan yang sama untuk mencari akar perihal “makna kutukan” itu. Memilih kisah Malin Kundang, untuk menjadi kerangka dasar pertunjukan Maling Kondang, ternyata tidak semata sebuah permainan kata, atau plesetan judul, “Malin” menjadi “Maling” dan “Kundang” menjadi “Kondang”.

Menjadi maling ternyata tidak lagi menjadi sesuatu yang memalukan. Mencuri itu sudah bisa diterima sebagai sebuah jalan untuk memperoleh kekayaan. Tentu saja mencuri yang elegan, yang berkelas dan didukung oleh sistem dan para kolega. Yakni, korupsi. Korupsi itu biasa, tidak korupsi baru luar biasa. Nah, hari-hari ini, kita sampai pada situasi seperti itu: ketika kita menerima korupsi sebagai sesuatu yang lumrah. Semua orang sepertinya ingin menjadi kaya. Atau: menjadi kaya itu satu-satunya cita-cita orang Indonesia, komentar kawan saya yang sinis itu. Lihatlah nasihat orangtua saat menyekolahkan anaknya: sekolahlah yang benar agar kelak menjadi orang. Nah, “menjadi orang”, sering kali hanya dipahami “menjadi sukses dan kaya”.