Raden Mas Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara semasa zaman pergerakan di awal abad ini pernah bikin artikel yang menghebohkan, bertajuk Seandainya Aku Seorang Belanida. Belanda tersengat oleh kritik pendiri perguruan Taman Siswa itu, dan akibatnya tokoh pendidikan nasional itu terpaksa dikurung di bui. Tapi kini, ketika Belanda sudah hengkang dari negeri ini, maka saya ingin mengutip ulang sebagian teks Ki Hadjar itu – hanya saja “Belanda”nya  dalam sinisme saudara-saudaraku dari Timur diganti menjadi “Jawa”.

“Sekiranya aku seorang Jawa, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si Papua memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Jawa, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya”.

Saya tidak sedang ingin ngompori supaya Papua segera membulatkan tekad memisahkan diri dari keindonesiaan kita. Sebaliknya justru ingin mengukuhkan, sekaligus mengingatkan saudara-saudaraku yang bukan Papua, terutama para elit yang sedang diamanahi memimpin negeri ini, untuk tahu diri bahwa Indonesia itu bukan hanya Jawa. Berhentilah kalian menari-nari di atas kesengsaraan saudara sebangsamu. Tahanlah diri kalian yang selama ini terlanjur memanjakan keserakahan dengan menjadi APBD, Anggota Persatuan Begal Daerah. Indonesia bagian Timur juga adalah KITA, dan semestinya mempunyai hak dan perlakuan yang adil, sama dengan saudara-saudaranya di Barat.

Seperti selalu disajikan media masa, bicara Papua adalah menghadirkan kembali ketertinggalan dan ketidakadilan yang menimpanya. Runcingnya gunung dan bukit di Tembagapura kini menjungkir: runcing ke bawah menjadi ceruk danau yang yang menganga. Kekayaan perut buminya, emas-tembaga-minyak-aneka mineral, telah dijarah secara sistemik, masif dan terencana. Secara seloroh orang Papua bisa bikin guyonan yang mengiris hati: “Orang Jakarta tuh takjub dan heran melihat sebongkah emas di puncak Monas, tapi kami, orang Papua, punya emas segunung malah nggak pernah bisa kagum karena emas telah digondol pencuri”.

Menagih keadilan

Sebuah ironi, yang jika diekspresikan a la dangdut Pantura, jari akan menunjuk dada,”Sakitnya tuh di siniiii.” Sakitnya Papua – juga Maluku, Nusa Tenggara Timur, Sumba, Folres, Sumbawa, dll – juga sakit kita.  Kita tak bisa, dan tak boleh, membiarkan luka hati itu ngendon berlama-lama. Langkah dan janji politik Presiden Jokowi yang akan memberikan fokus pembangunan untuk Indonesia Timur, memang pantas diapresiasi. Kalau pun misalnya tempo hari pemerintah menyelenggarakan Natal Nasional di Papua, itu masih kita baca sebagai lonceng awal. Masih basa basi politik. Belum menukik ke hal-hal substansial yang benar-benar akan membawa perubahan nasib orang Papua, meskipun kita juga tahu sebuah kebijakan yang baik dan luhur belum tentu mulus jalannya, – mengingat sandungan bisa terjadi di gedung parlemen terutama jika anggota DPRnya masih belum bermental negarawan sehingga konsisten gagal memahami keindonesiaan kita.

Maka, yang dibutuhkan Indonesia, hari ini adalah tabib yang diharapkan bisa menyembuhkan luka hati itu. Apakah tabib itu musti datang dari Timur sebagaimana diramalkan Nostradamus, peramal legendaris Perancis, yang pernah menyinggung Nusantara bakalan makmur ketika datang pemimpin dari Timur?

Mungkin tukang nujum itu ingin mengatakan, dia datang dari sebelah Timur Jakarta. Dulu diasumsikan dari Blitar, tempat kelahiran Bung Karno; Soeharto dari Yogya; Habibie dari Makasar; Megawati kelahiran Yogya keturunan Bali; Gus Dur asli Jombang; atau sekarang Jokowi yang kelahiran Solo. Semuanya dari arah Timur, nyatanya tidak kunjung menjelma menjadi Ratu Adil yang mampu menyelesaikan persoalan kebangsaan kita.

Bisa bercanda bisa tidak, jangan-jangan Timur yang dimaksudkan adalah dari pulau paling Timur. Maka bisa jadi, Ratu Adil yang mewujud sebagai tabib yang akan menyelamatkan Indonesia itu datangnya justru dari Papua. Lho,…siapa tahu? Perkara kemudian Timur lagi-lagi dikadalin oleh Barat sebagaimana sejarah membuktikan, maksudnya Pusat alias Jakarta alias Jawa kembali ngibuli, – maka tak keliru seumpama kelak kita tulis lagi: bukan Seandainya Aku Orang Jawa melainkan Seandainya Aku Orang Papua dalam nada yang lebih garang. Dan menagih keadilan.

“Aku Papua, aku Indonesia. Jangan dikadalin lagi dong!”

 

Butet Kartaredjasa

(gambar ilustrasi oleh: Toni Malakian)

Tulisan di atas merupakan kolom ragam pada pertunjukan Indonesia Kita: Tabib Dari Timur