Tikuse pada ngidung

Kucing gering kang njagani

 

Malam ini lakon Indonesia Kita “Pesta Para Pencuri”. Tak mudah membayangkan para pencuri berpesta pora itu seperti apa. Semua pencuri di seluruh negeri diundang? Berapa banyak jumlah mereka? Diperluakn sebuah gedung besar yang terang benderang, dan menjadikan pesta itu mirip dengan –tak kalah dari—kebiasaan golongan lain yang gemar hidup di dunia yang penuh suasana gemerlap?

Lakon ini tak menjelaskannya. Andaikata ada sedikit kenakalan dalam mengolah cerita—jadi tak perlu terlalu taat pada naskah aslinya—apa salahnya kalau pesta mereka itu berlangsung di gedung pemerintah yang mereka sewa? Pesta di sini memang lebih bersifat metaforik. Jadi cukup disebut pesta dan maknanya tak harus seperti sebuah pesta pernikahan. Dalam lakon ini pesta harus diberi makna lain sesuai maksud naskah yang diadaptasi. Dan itulah persoalan kita. Sopan santun dalam adaptasi membuat kita terpenjara.

Kalau adaptasi lebih diperhitungkan untuk kepentingan sebuah kritik—dan di negeri ini kritik hendaknya ‘landerpe pitung penyukur’ lebih dari ketajaman tujuh silet digabung menjadi satu, agar sedikit terasa oleh pihak yang dikritik, maka alangkah bagusnya kalau semetaforik apapun makna pesta ini tetap digambarkan memerlukan tempat, misalnya di gedung DPR, atau di halamannya yang begitu luas, di gedung Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung, atau di satu gedung khusus milik Mabes Polri. Tak kalah menarik di kantor Majelis Ulama Indonesia. Ini tempat-tempat tak tersentuh yang wajib disentuh. Jadi cara kita bikin lelucon mungkin akan bagus sekali kalau tak kalah lucu dari lelucon penggede kita.

Dengan kata lain, kalau kita mau nakal harus terasa ‘menggigit’. Kenakalan di depan para penggede negeri mungkin tak boleh tanggung-tanggung. Para penggede yang dimaksudkan untuk dikritik oleh lakon ini nakalnya kebangetan. Mereka nakal bukan hanya menurut ukuran etika, sopan santun, dan aneka kepantasan sosial, tapi jelas menabrak moral dan ajaran agama dan hukum yang membuat mereka dipenjara. Tapi, siapakah yang pernah merasa bersalah? Siapakah yang kelihatannya malu ketika dikurung penjara oleh KPK dan sesudahnya?

Tempat kritik sosial ini dipertunjukkan kepada publik hendaknya bukan di gedung kesenian. Itu tindakan konvensional yang tak mengubah sedikitpun kemapanan tradisi. Apa salahnya pentas ini diselenggarakan di halaman kantor para penegak hukum? Tidak kalah bagusnya di gedung DPR Senayan. Para pejabat diundang, dan gratis, dan dikasih naskah ceritanya pula supaya mereka belajar sesuatu yang harus mereka pelajari. Seniman, orang-orang media, para aktivis, dan kalangan terpelajar di masyarakat kita agaknya tidak terlalu butuh pelajaran moral yang disodorkan oleh lakon ini. Mereka memang bukan orang-orang suci. Tapi mungkin mereka tak terlalu membutuhkannya disbanding dengan para tokoh yang disindir oleh lakon ini.

Mungkin ini bedanya sindiran kaum seniman—dan di sini, seni itu artinya pertunjukan di atas panggung—dibandingkan dengan sindiran pujangga. Perlu dicatat bahwa pujangga pun seniman—tapi tidak manggung—dan dalam arti tertentu seniman juga punya dimensi kepujanggaan di dalam dirinya. Tapi—sekali lagi—ada bedanya, dan perbedaan itu agak nyata. Puajngga memiliki ‘panggraeta’ yang tajam dan mendalam, yang tak dimiliki kaum seniman pada umumnya. ‘Panggraeta’ itu kemampuan supranatural yang mungkin dipelajari melalui latihan-latihan hidup bersahaja, meditasi dan berbagai bentuk seni mengolah kapasitas di dalam dirinya sehingga pujangga menjadi lebih sensitif menerima dan memberi makna suatu rangsangan ‘alam’—mungkin ilahiah sifatnya—untuk dibikin menjadi kredo kehidupan yang tak begitu lazim bagi hidup orang biasa seperti kita.

Pujangga juga tak menggunakan ungkapan sehari-hari. Kecuali itu ada hal lain: kemampuan supranatural mereka boleh jadi tak diperoleh melalui proses belajar yang mungkin agak teknis. Pujangga memperoleh ilmu laduni: mereka tiba-tiba tahu begitu saja. Seniman biasa pada umumnya tak mengalami suasana psikologis-rohaniah macam ini.

Salam satu pupuh—mungkin bait—Dandanggula, yang konon diolah berdasarkan ‘jangka Jayabaya’, Ki Rangga Warsita menulis: Semut ireng/ Ngendok jroning geni/ Ana merak memitran lan baya/ Keong sak kenong matane/ Tikuse pada ngidung/ Kucing gering kang njagani/ … dipenggal di sini sebelum bait ini berakhir, demi menimbang relevansinya langsung dengan lakon Pesta Para Pencuri. Semut ireng, semut hitam, simbolisasi orang-orang yang boleh saja berjubah putih, tapi tak mau memperlihatkan identitas dirinya, dia mau apa sebenarnya. Mereka bersembunyi dalam gelap. Ngendok jeroning gening, bertelor dalam api, senang membakar dan memanaskan keadaan, sambal bersembunyi tadi. Mereka berteman dengan buaya itu gambaran dunia rohani yang terbeli, boleh jadi sindiran buat rohaniawan yang memburu materi secara berlebihan. Keong, publik, membelalak kaget hingga matanya membesar.

Tikus-tikus berkidung—yang sudah dipetik untuk pembukaan essay ini—para koruptor ‘tetembangan’, nyanyi jejingkrakan: tidak merasa malu, tak pernah merasa hina dina. Mereka selalu berusaha menyerang dan memperlemah lembaga yang mengawasi polah tingkah mereka. ‘Tikuse pada ngidung’ ini lebih simbolis dibandingkan dengan para pencuri berpesta pora. Kecuali itu, yang menjaga tikus-tikus itu hanya ‘kucing gering’, kucing sakit-sakitan, tak berdaya, dan tak pernah berani menerkam si tikus. Kidung ini ditulis sekitar dua abad lalu. Tapi ‘panggraeta’ sang pujangga begitu tajam menyentuh esensi persoalan sensitif dan penting bagi kita hari ini.

Lakon Pesta Para Pencuri sebagai ungkapan metaforik, kelihatannya kurang bermetafora dibandingkan ‘Tikuse Pada Ngidung’ yang biasa disebut metafora di atas metafora.

Indonesia Kita bukan sekadar sebuah tema menarik dan laku dijual menjadi duit dan tontonan—tanpa berpretensi—menjadi tuntunan seperti kemunafikan Orde Baru. Kelihatannya tontonan ya tontonan, dan cukup. Manusia zaman ini tak butuh tuntunan. Buktinya agama sudah dijual di pasaran politik dengan harga murah. Dan bukankah merak telah bersahabat dengan buaya?

Indonesia Kita kelihatannya bersikap apa adanya. Tapi seniman seperti Agus Noor, juga Butet, dan mungkin para tokoh lain di dalamnya, telah membuat Indonesia Kita menjadi lebih dari apa adanya tadi. Mereka, sebagai seniman, juga memiliki apa yang dimiliki kaum pujangga: kepedulian terhadap hidup kita, dan dengan begitu, sebutan buat mereka mungkin tak boleh lain selain committed intellectuals atau seniman yang memihak. Pemihakan itu tampak bukan hanya dalam lakon ‘Tikuse Pada Ngidung’ malam ini.

 

Mohamad Sobary

(gambar ilustrasi oleh: Toni Malakian)

Tulisan di atas merupakan kolom ragam pada pertunjukan Indonesia Kita: Pesta Para Pencuri