Kebenaran disampaikan melalui cerita. Juga kalau ingin menyangkalnya. Begitulah pada suatu masa, ada cerita tentang asal mula bumi, asal mula lelaki dan perempuan, asal mula kecemburuan, dan kisah yang penuh keajaiban, mukjizat yang menyengat. Tentang ikan besar, atau laut yang bisa dibelah, atau badai yang bisa diredakan. Dari cerita-cerita itulah tersampaikan, terkomunikasikan—dan menerima umpan balik, tersosialisasikan—dengan segala tafsiran, melalui bentuk dongeng, atau diperagakan melalui boneka atau wayang dengan segala variannya. Dan demikianlah kebenaran disampaikan, menjadi sakral dengan sebutan ajaran, lengkap sebagai tata nilai dan sekaligus tata krama.

Kebenaran disampaikan melalui cerita. Dan cerita silat bentuk terdekat yang memikat. Terutama karena cerita silat memiliki kandungan yang dimiliki cerita-cerita purba tentang tokoh yang karismatik, tentang ilmu atau jurus yang memanjakan imajinasi, tentang kebaikan mengalahkan kejahatan, nilai-nilai persahabatan, menghormati orang tua. Lebih dari itu cerita silat mengajarkan cinta tanah air secara nyata dan terbatas—tidak menempatkan diri “tanah air universal’ yang berlaku untuk seluruh jagat. Justru karena posisi kelokalan menjadikan kekal dan karenanya tak menjadi dogma. Selalu terbuka, open ended, untuk ditafsirkan ulang, untuk dilokalkan. Dalam tradisi inilah lakon Sri Eng Tay, dihadirkan, mengalirkan sapaan berpentas, meneruskan apa yang saya istilahkan sebagai kebenaran kreatif.  Kebenaran disampaikan secara kreatif : menyampaikan kebenaran lama dengan cara lama atau cara yang diperbarui. Sekadar contoh, lakon Sang Prajaka sebagai bentuk terjemahan kreatif dari “Perjalanan ke Barat”, karya Wu Cheng-en yang hidup di abad 16. Tokoh Sang Prajaka, atau Sun Go Kong (Kera Sakti= Wanara) atau Siluman Babi (Ti Pat Kai=Demalung) , atau yang lain lagi mengalami perubahan nama dan menjadi nama lokal dan sangat terkenal dengan kelokalannya. Bahkan dalam kandungan cerita tokoh-tokoh ini mengucapkan salam pembuka yang kita dengar dalam agama Islam. Pelokalan kreatif berlangsung dalam bentuk buku, komik, sandiwara yang dipanggungkan, juga diradiokan, dan seterusnya. Tak beda jauh dengan tokoh Sie Jin Koei, yang menjadi sangat terkenal dalam ketoprak, dan seolah menjadi bagian dari sejarah lokal—sejarah di mana kisah itu dipanggungkan.

Cerita silat, sebagian besar kalau tidak seluruhnya , memakai latar belakang data dan fakta sejarah, yang ditampilkan dalam kisah yang berbeda dengan sejarah yang dikenal—meskipun tidak berarti bertentangan. Begitulah pengarang cerita silat S.H. Mintarda, Herman Pratikto, Seno Gumira Ajidarma,(nama inspiratif untuk jagoan silat) dan beberapa nama lain, melahirkan pijakan bagai setting lokasi tempat maupun lokasi waktu. Adalah cerita silat yang memiliki sebutan cersil Cina—karena asal usulnya memang cerita dari Cina—yang sekarang disebutkan warisan budaya Tiongkok yang telah mengalami proses pelokalan sehingga lahirlah nama Sri Eng Tay, atau perguruan silat Go Bi Pai yang sungguh sudah menjalankan pendekatan feminis, atau gadis berselandang tapi masih menyembunyikan wajahnya di balik caping.

Kebenaran disampaikan melalui cerita. Termasuk cerita silat, dengan unsur tawa. Ini yang mewujud dalam pentas ke-21 yang didukung Bakti Budaya Djarum Foundation—dan lusinan pendukung lainnya. Unsur tawa, unsur penghibur, amat sangat dibutuhkan masyarakat Ibu Kota khususnya. Kepengapan sosial yang menindas, perlu dilepaskan dengan berkesenian sebagai ekspresi bersyukur.  Dilepaskan secara aman, kondusif, dan bijak. Masyarakat bukan hanya butuh rumusan pentas seperti ini, melainkan rindu sehingga menunggu lakon berikutnya—sebagaimana dulu menunggu kehadiran grup lawak Srimulat.  Peran itu kini dikreativitasi oleh Butet Kertaredjasa, Agus Noor, Djaduk Ferianto dan Bre Redana, yang mengakurkan gerak pencak silat atau wu shu dengan goyangan, misalnya lagu “Sri Ndang Baliya”—Kembalilah Sri. Atau seorang Cak Lontong, pendekar buta yang mampu melihat dengan mata batinnya untuk melupakan penyakit “turun berok”, karena kini “turun gunung”. Bersanding dengan Marwoto Kewer bisa jadi pernah memerankan kisah masih orisinal, bersatu panggung dengan Henky Solaiman, si pendekar tanpa gerak. Atau grup lawak Trio GAM, atau siapa saja—sesuai dengan kebutuhan pentas, atau disesuaikan.

Keluwesan terjadi bukan hanya di antara pelaku seni melainkan—nah ini yang jarang di-mention,– yaitu kerja sama para pendukung disiplin lain seperti publikasi, penyelenggara produksi, sehingga menjadi bagian di Indonesia Kita. Yang bisa terus dikembangkan, terutama karena pentas semacam ini bisa dikemas sekaligus sebagai program televisi yang utuh. Selain untuk mengingatkan kehidupan teater pada televisi, juga terutama audience yang ada di berbagai daerah di Negara kita ini. Mereka juga berhak mendapatkan apa yang rutin diperoleh masyarakat Jakarta. Mereka juga bagian inti dari “Keindonesiaan Kita.” Dan atau dipentaskan keliling, berseling dengankelompok lainnya dengan kebenaran, dan keberanian, kreatif yang sama.

Kebenaran disampaikan melalui cerita, sebagaimana lakon yang pernah dituliskan juga dalam Ramayana, Mahabharata. Dan diteruskan melalui cerita apa saja, termasuk di deretan ini adalah Sri Eng Tay. Kita bisa menyangkal, atau memperbarui, juga melalui cerita. Dan karena itulah cerita tak pernah pernah selesai, juga pemanggungannya. Sebagaimana pepatah : kebenaran harus diperjuangkan, dan humor harus dipanggungkan.

 

Arswendo Atmowiloto,

penulis buku silat berjudul Senopati Pamungkas

(gambar ilustrasi oleh: Toni Malakian)

Tulisan di atas merupakan kolom ragam pada pertunjukan Indonesia Kita: Sri Eng Tay