Tokoh Si Kabayan dalam banyak cerita rakyat masyarakat Sunda sekarang ini hanya dikenal sebagai pelawak dengan kebodohannya. Tetapi, sifat jujur pada dirinya tetap dipertahankan. Si Kabayan, dalam kurang lebih 120 cerita yang dikumpulkan para orientalis Belanda di zaman kolonial adalah tokoh paradoks. Pada suatu cerita dia begitu bodohnya sehingga tidak dapat membedakan antara langit dan bayangannya di sawah, tidak bisa membedakan antara mayat dan orang hidup, tetapi Si Kabayan dalam cerita yang lain justru manusia yang amat cerdas dan berhasil memperdaya orang-orang yang menyakiti hatinya.

Kalau ditelusur, ternyata cerita-cerita Kabayan bodoh selalu mengandung nilai-nilai kerohanian dengan kedalaman spiritualitasnya. Sedang Si Kabayan cerdas selalu berhubungan dengan urusan keduniawian dan ketidakadilan manusia. Si Kabayan pandai dalam hal-hal duniawi tetapi bodoh dalam hal-hal rohani-surgawi.

Sifat tokoh Kabayan semacam itu karena para pengarangnya bukan orang sembarangan, tetapi tokoh-tokoh sufi yang telah mencapai makrifat dan mampu melihat kelemahan manusia secara humoristik. Kejenakaan dan kesucian rupanya saling bertaut. Orang-orang yang suci hatinya tidak pernah marah-marah, penuh hujatan, dan tuduhan terhadap kelemahan manusia dalam kejahatan. Melihat kelemahan manusia adalah melihat kebodohan spiritualnya. Mereka yang tinggi kecerdasan spiritualnya hanya bersikap belas kasihan pada mereka yang dangkal spiritualnya, sehingga menjadi bola permainan kaum sufi. Dalam khasanah sastra dunia sufi, Si Kabayan sejajar dengan tokoh Abu Nawas dan Koja Nasrudin. Gabungan kecerdasan spiritual dengan kecerdasan intelektual inilah bekal kaum pengarang cerita-cerita Si Kabayan. Di tangan para pengarang yang tidak sekualitas itu, tokoh Kabayan jatuh dalam tingkat lelucon belaka.

Cerita-cerita Si Kabayan rupanya berasal dari berbagai tarekat sufi di Jawa Barat, khususnya daerah Banten. Berbagai nama tokoh muncul dalam cerita-cerita semacam itu, seperti Si Kidul, Si Bapa Leco, Nujum Sengsara, Si Buta Tuli, Bapak Lucung, dan Si Kabayan. Rupanya nama tokoh Si Kabayan yang tepilih untuk menamakan tokoh berbagai cerita sufistik tersebut.

Pasangan Kabayan yang selalu muncul adalh istrinya Si Iteung (karena berkulit hitam). Pasangan ini selalu bertengkar, namun tak mau pisah. Kalau Si Iteung serakah, Kabayan yang selalu penuh perhitungan, dan sebaliknya. Kalau Kabayan bohong, Si Iteung yang jujur. Keduanya selalu bertengkar mempertahankan persepsi masing-masing. Pasangan kedua Kabayan adalah Si Abah, bapak mertuanya. Si Abah ini selalu memandang rendah Kabayan karena malasnya, penganggurannya, suka makan enaknya, tukang tidur, dan korek kuping. Di mata Si Abah, Kabayan selalu salah dan tak berguna sebagai manusia. Sikap Kabayan kepada bapak mertuanya adalah pembalasannya agar Si Abah kapok. Untuk itu Kabayan harus mempermainkan otaknya yang cerdas. Di saat-saat seperti ini, Kabayan cerdas bahkan genial muncul. Pasangan Kabayan yang ketiga adalah ibu mertuanya atau neneknya sendiri. Kedudukan ibu mertua dan nenek ini mewakili kearifan lokal Sunda, misalnya mengajari bagaimana Si Iteung dan Kabayan, begitu bodohnya sehingga tidak mengetahui, bagaimana senggama ketika pengantin baru. Ibu mertualah yang cerdik, bagaimana senggama bisa terjadi. Hubungan Kabayan dengan dua perempuan lansia dan paruh baya itu adalah hubungan kasih sayang. Pasangan keempat Kabayan adalah tetangganya sendiri Ki Silah. Ki Silah senantiasa menjadi korban Kabayan kalau sedang timbul kesalnya, serakahnya, atau lawan dalam tanya jawab teka-teki. Ki Silah boleh dikatakan mewakili orang yang kelas sosialnya lebih mapan dan lebih tinggi dari Kabayan sehingga sering jadi korban penipuan Kabayan yang cerdas.

Tokoh Kabayan digambarkan pemalas, suka tidur saja, tidak mau kerja, doyan makan enak, dan sangat miskin. Ciri-ciri ini sebenarnya ciri-ciri pengikut sufisme, yang rata-rata telah meninggalkan keduniawian. Mereka memang tak punya apa-apa, dan kerjanya memikir dan merenung, memasuki pengalaman hakikat dan makrifat. Si Kabayan itu semacam crossboy intelektual, kurang ajar, dan kadang tidak sopan, namun jujur dan suci niatnya, sehingga tidak ada orang yang berani membencinya. Si Kabayan memang pemikir alternatif, karena umumnya manusia itu egoistik, duniawi, lengkap dengan akal bulus, demi kepentingannya sendiri. Sedang Kabayan berpikir secara spiritual yang hal-hal duniawi, dan manusiawi ditinggalkan. Kelebihan orang-orang semacam ini adalah penguasaannya atas hukum spontanitas ilahiah: mendoakan yang sakit langsung sembuh, mengubah buah menjadi emas, dan berada di dua tempat dalam waktu yang sama. Itulah sebabnya kaum sufi semacam ini, meskipun nampaknya kurang ajar dan kurang sopan, namun tetap disayangi seperti orang menyayangi tokoh Si Kabayan.

Tentang naskah Si Kabayan jadi presiden, menurut pendapat saya, terlalu menggunakan cara berpikir modern masa kini. Berdasarkan cerita-cerita yang saya baca, tak pernah Kabayan berambisi menjadi pembesar. Kalu Si Kabayan pernah menjadi seperti orang kaya atau seperti ustadz terkenal memang ada, tetapi tujuannya cuma menipu agar dapat makan enak dan kenyang, dan biasanya selalu ketahuan. Kisah semacam ini benar-benar terjadi di zaman Soekarno. Ada orang yang mengaku dirinya Raja Kubu (masyarakat Kubu yang masih hidup terbelakang di Sumatera Selatan) dan mengunjungi presiden. Semua menghormati dia dan istrinya, termasuk para pejabat Soekarno sendiri seolah menunjukkan diri peduli pada masyarakatnya yang tertinggal dari peradaban. Akhirnya ketahuan bahwa dia cuma “Kabayan” yang ingin merasakan tidur di kamar mewah, dan makan enak beberapa hari plus dapat uang sangu.

Jadi Kabayan menjadi presiden yang sungguh-sungguh tak akan pernah terjadi, meskipun alasannya dia orang terjujur di Indonesia. Naskah ini memainkan logika biner, yakni bahwa kemerosotan sekarang akibat para petinggi yang tidak jujur. Tetapi kabayan itu meskipun jujur, tetapi kadang bodoh. Apakah presiden mendatang memilih orang paling jujur tetapi bodoh dalam pemerintahan? Atau orang yang sangat cerdas dan tinggi pengetahuannya meskipun tidak jujur? Kalau naskah ini mau dipaksakan juga, hendaknya tokoh Kabayan dikaji oleh Si Abah, ayah mertuanya. Musuh dalam selimut, Si Iteung, dikaji pula oleh nenekanda dan ibu mertua yang sangat menyayangi Kabayan, dan Ki Silah yang selalu bertanya meminta kejelasan pada setiap Kabayan. Pertimbangan-pertimbangan “keluarga besar Kabayan” ini tentu akan mempertajam logika, mengapa Kabayan harus menjadi Presiden. Dan orang seperti Kabayan diperlukan Indonesia saat ini.

Naskah ini masih mendasarkan persepsi popular, bahkan di masyarakat Sunda sendiri, bahwa Kabayan itu polos, jujur, apa adanya, dan lugu kampung. Kalau hanya tokoh semacam itu tak perlu bernama Si Kabayan. Sebab, Si Kabayan itu memang tokoh pemikir alternatif. Dia berada di seberang kita sebagai manusia modern masa kini di Indonesia. Kita ini hedonis, materialistik, egoistik, sekuler, konsumtif; sedang Kabayan adalah manusia spiritual yang tidak produktif secara duniawi tetapi kreatif dalam rohani. Kekurangan pemimpin kita adalah dimensi spiritual rohaniah ini. Dan kabayan punya peran untuk melengkapi, menyempurnakan manusia hedonis-materialistik dalam dimensi spiritualnya. Spiritual belaka tanpa kerja tidak dibenarkan agama mana saja. Sebaliknya, kerja belaka tanpa spiritual juga akan seperti sekarang ini.

Masalahnya diktum hablumin Allah dan Hablumin annas, dimensi vertikal spiritual dan dimensi horizontal manusiawi. Kerja dan doa. Cerdas intelektual dan cerdas spiritual. Ibadah dan amal. Kabayan berada di dimensi spiritual. Itulah sudut pandang yang harus dipakai kalau tokoh Kabayan mau dipasang sebagai pemikir kreatif.

Dengan kedudukan seperti itu, Kabayan akan menguliti kelemahan-kelemahan dan dosa-dosa pejabat sekarang secara murni, sehingga bukan hanya pejabat dan para pemimpin tercerahkan kelemahan-kelamahannya, tetapi juga kita rakyat ini menjadi paham akan kebrengsekan kita selama ini.

Salam.

 

Jakob Sumardjo

(gambar ilustrasi oleh: Toni Malakian)

Tulisan di atas merupakan kolom ragam pada pertunjukan Indonesia Kita: Kabayan Jadi Presiden