Di tanah Indonesia yang subur ini, korupsi pun tidak pernah mati. Di era kerajaan, korupsi merebak. Di era kolonial begitu juga. Di zaman Soekarno tak terlepas dari korupsi. Apalagi di era Orde Baru. Berganti pemimpin setelah reformasi, korupsi tetap bertahan. Dalam negara diktator, korupsi merajalela. Solusi dari negara dictator adalah negara demokrasi. Tapi, dalam negara demokrasi, korupsi tetap merajalela.

Korupsi tampaknya telah menjadi keterampilan umat manusia lintas zaman, lintas generasi, lintas agama, lintas etnis, lintas kelas, dan seterusnya. Setiap era punya kasus korupsinya masing-masing. Di era sekarang, bahkan tidak cukup dengan satu kasus besar saja. Korupsi tak mengenal sejarah.

Suatu kali, ada yang pernah bertanya, korupsi apa yang paling brutal? Waktu itu, jawaban paling mungkin adalah: korupsi paling brutal adalah korupsi yang dilakukan oleh bintang iklan “Katakan Tidak Pada Korupsi”. Ternyata, ada yang lebih brutal dari itu semua. Tahun 2017 lalu, di Riau, ada kasus KORUPSI PEMBUATAN PATUNG ANTI-KORUPSI. Ini benar-benar brutal. Begitu fasihnya para koruptor itu merayakan kemunafikan. Kita tak sanggup lagi membayangkan bila ada contoh yang lebih brutal.

Tapi, semakin ke sini, fakta korupsi semakin brutal. Tahun 2011-2012, Kementerian Agama terlibat korupsi sebesar 14 M atas kasus pengadaan Al-Quran. Tahun 2010-2013, Menteri Agama saat itu terlibat kasus korupsi Dana Haji sebesar 27, 3 M. Itu belum termasuk korupsi Kementerian Agama sejak Indonesia merdeka. Kasus korupsi PENGADAAN AL-QURAN dan korupsi DANA HAJI menempati posisi berikutnya sebagai korupsi paling brutal. Rasanya sulit membayangkan ada lagi korupsi yang lebih brutal, tapi kenyataannya benar-benar terjadi. Bangsa kita ternyata tidak hanya fasih merayakan kemunafikan, tetapi telah menjadikan kemunafikan sebagai “falsafah hidup”—lahir ke dunia hanya untuk menjadi kaum munafik.

Dengan suatu dan lain cara dan dengan durasi yang berbeda-beda, korupsi terus menunjukkan sisi paling runcingnya: kebangkrutan. Korupsi telah menjadi salah satu monster berdaya rusak yang tinggi. Meskipun sudah banyak contoh kebangkrutan di negara ini, tapi korupsi tetap tak dapat dibendung. Patah satu tumbuh seribu.

Penguasa berganti-ganti, korupsi tak pernah mati. Cinta bisa datang dan pergi, tapi korupsi senantiasa abadi. Tren pun berubah-ubah, korupsi tetap parah. Perang dan damai pun bertukar waktu, korupsi tetap tak bisa diganggu.

Apa yang menyebabkan korupsi mempunyai daya tahan yang begitu tinggi? Keserakahan.

Keserakahan adalah nyawa yang membuat korupsi sanggup berumur panjang dalam peradaban manusia ini. Tapi, korupsi hanyalah salah satu tempat berkembang biak yang paling baik untuk keserakahan. Keserakahan manusia terus mencari tempat tumbuh yang baru. Sekalipun suatu saat nanti korupsi bisa dibasmi, selama keserakahan tidak dilenyapkan, tetap saja akan muncul “korupsi gaya baru”.

Pertunjukan “Pemburu Utang” adalah gambaran satire atas keserakahan. Ketika suatu negeri sudah bangkrut karena utang dan korupsi, bukan berarti keserakahan akan berhenti begitu saja. Di dalam kebangkrutan sebuah negeri, keserakahan tetap muncul dengan wajah barunya. Keserakahan, dalam bentuk paling sederhananya, adalah suatu kehendak untuk selalu mendapatkan untung. “Untung” tidak selalu berarti “kaya”. Tak ubahnya seperti orang yang hidup dari satu tren ke tren lainnya, bila keuntungan berarti kekayaan, maka orang-orang serakah akan berlomba-lomba menjadikaya. Bila keuntungan bisa didapatkan lewat korupsi, maka orang-orang serakah akan menjadikan korupsi sebagai pekerjaan tetap. Bahkan, bila keuntungan berarti kemiskinan, maka orang-orang serakah akan berpacu-pacu menjadi miskin. Ketika menderita akan membuatmu mendapatkan keuntungan, maka orang-orang serakah akan berambisi jadi menderita. Bahkan, bila posisi sebagai “victim” akan mengarahkan seseorang pada keuntungan, maka orang-orang serakah di era kontemporer ini dengan heroik akan melakukan playing victim. Inilah sisi ironis yang diusung oleh pertunjukan “Pemburu Utang”,

Dalam diri kita selalu ada bibit-bibit keserakahan. Barangkali itu sebabnya, kita masih sering mendengar anjuran religius ini, “makanlah sebelum lapar dan berhentilah sebelum kenyang”. Kita bisa saja mengolokoloknya jadi begini, “bagaimana mau makan sebelum lapar, sudah lapar berhari-hari pun tiada kunjung dapat makan.” Atau olok-olok lain, “Bagaimana mau berhenti sebelum kenyang, baru makan sedikit saja sudah habis”.

Sebagai sebuah olok-olok yang berlandaskan permainan kata-kata, kita bisa saja menerimanya. Tapi sesungguhnya anjuran tersebut menyimpan makna yang lebih krusial. Ia menganalogikan lingkaran keadilan sosial. Hanya di dalam masyarakat yang saling berbagi rejeki, kita baru akan bisa merasakan bersama-sama “makan sebelum lapar”. Hanya dengan cara “berhenti sebelum kenyang”, kita bisa menciptakan masyarakat yang saling berbagi rejeki. Bersama-sama. Namun, persoalannya sekarang, bisakah itu dilakukan bersama-sama, bahkan sebagai sebuah sistem? Entahlah. Yang jelas, kondisi akhir-akhir ini masih tampak seperti pertunjukan “Pemburu Utang”.

 

Heru Joni Putra

Sastrawan

(gambar ilustrasi oleh: Toni Malakian)

Tulisan di atas merupakan kolom ragam pada pertunjukan Indonesia Kita: Pemburu Utang