Sebuah panggung tontonan adalah jeda terhadap kenyataan. Yang tergelar di situ adalah cerita yang belum lagi tertatap di luar ruang pertunjukan. Jika di panggung tersaji tokoh-tokoh rakyat, maka itulah rakyat yang lain. Jika penonton adalah rakyat, mungkin saja mereka bercermin ke panggung itu.

Tentu yang mereka lihat bukan wajah mereka sehari-hari. Itulah wajah yang mereka bayangkan. Atau justru wajah yang mereka hindari.

Pada suatu masa ludruk, misalnya, adalah seni rakyat. Di Jawa Timur, ia hadir di antara rakyat, dengan tokoh-tokoh utama di panggung yang berasal dari rakyat juga. Sakerah, Sawunggaling, Sarip Tambak Oso—para gembong ini memang bukan dari kalangan kraton atau priyayi.

Pada masa kanak saya, banyak kelompok ludruk di Jawa Timur ditaja oleh Komando Distrik Militer. Wajar bila tentara (yang kanan itu) bersemangat menggarap ludruk di masa awal Orde Baru—setelah di masa “Orde Lama”, Lembaga Kebudayaan Rakyat (yang kiri itu) begitu lihai mengelola berbagai seni rakyat, termasuk ludruk.

Namun siapapun yang menaja, ludruk adalah ludruk. Sakerah boleh jadi simbol anti-kemapanan, bahkan anti-penjajahan (juga ultranasionalisme, bila perlu), tapi tetaplah ia hidup sebagai tokoh dalam cinta segitiga. Ia yang berani tapi tumbang; demi cintanya, yang ia kenal bukan hukum sipil, tapi hukum hati.

Tetapi, memanglah penonton ludruk tak bisa larut ke dalam cerita. Sebelum “inti ludruk” itu, di bagian depan, yakni di bagian bedayan, mereka sudah bersua dengan para “perempuan”.

Dan penonton tahu bahwa para “perempuan” adalah laki-laki, tepatnya berkelamin laki-laki. Di atas panggung mereka terlihat lebih kemayu ketimbang perempuan. (Kemudian, penonton sadar bahwa Marlenah, istri Sakerah, juga diperankan oleh laki-laki).

Dengan menatap “perempuan” itu penonton sudah siap dengan paradoks. Yaitu bahwa panggung bukanlah cermin kehidupan. Panggung adalah realitas yang lain, yang tak terbanding dengan kehidupan sehari-hari.

Dengan itu pula penonton terbiasa mengembangkan toleransi terhadap dunia ambang –semacam kutub ketiga, yang tak terwadahi oleh oposisi biner lelaki-perempuan, kebaikan-keburukan, realitas-fantasi.

Tentu seni panggung rakyat bisa mengembangkan toleransi kepada dunia ambang dengan cara yang lain. Dagelan dalam ludruk (yang juga berlangsung sebelum cerita-pokok, tetapi setelah bedayan) juga mendorong penonton ke toleransi yang demikian.

Dagelan itu sendiri menjembatani panggung dan dunia sehari-hari. Para pendagel itu, antara lain dengan cara “membahas” sejumlah soal yang diketahui penonton serta mengenalkan sebagian cerita yang akan muncul, menebalkan bahwa panggung bukan terusan kenyataan.

Kemampuan untuk mengingatkan bahwa panggung bukan representasi kehidupan sehari-hari itu bukan hanya dimiliki ludruk. Agaknya hampir semua seni rakyat di Asia memilikinya. (Lalu teater modern abad 20, melalui Bertolt Brecht mengadopsinya), menjadikannya teknik yang disebut “efek pengasingan”, Verfremdungseffekt)

Pada seni rakyat yang sudah malih menjadi tontonan yang professional seperti Srimulat, daya menciptakan efek pengasingan secara alamiah itu bahkan sudah menjadi spirit pertunjukan itu sendiri.

Srimulat mengambil semua yang mungkin dari teater rakyat dan bentuk hiburan impor: misalnya lelaki-sebagai-perempuan (dari ludruk), batur yang mengolok-olok majikan (dari adegan punakawan dalam pewayangan) Drakula (dari film) yang membawakan lagu manis-mendayu. Namun efek pengasingan pribumi itu terutama tumbuh dari penggelinciran laku dan nalar berbahasa, seperti dibawakan oleh Asmuni.

Semua tokoh yang muncul di panggung itu tentu saja tergolong rakyat –yaitu rakyat tanpa heroisme. Rakyat yang mahir mengolok-olok diri sendiri. Rakyat bukan sebagai superstar, tapi –untuk meminjam kata-kata Johny Gudel—sepur-star yang lebih tepat sebagai sepur-setar.

Namun zaman ludruk dan Srimulat sudah berlalu, dan rakyat yang mestinya menghidupi tontonan rakyat itu juga bukan rakyat atau warga, melainkan konsumen, yang terpaksa hidup dalam budaya global.

Dalam transaksi barang, sang konsumen mendapatkan hak sepenuhnya: saya membeli, maka saya ada. Dalam transaksi politik, sang konsumen dipaksa menjadi rakyat kembali –dibeli (secara harfiah maupun simbolik) sebagai rakyat. Populisme membuat rakyat menjadi superstar untuk sementara belaka, sebelum dikembalikan ke tempatnya sebagai konsumen.

Di kota-kota besar, konsumen ini, lantaran jenuh oleh budaya massa, ingin juga bercermin, untuk beroleh wajah yang lain. Aneka panggung tontonan mestinya memberikan mereka cermin, yang semoga menghantar semacam efek pengasingan.

Ketawa-ketiwi di depan panggung tontonan rakyat dengan kemasan baru adalah perihal serius, manakala pementasan berhasil mengangkat kisah bahwa rakyat bukan pihak yang tidak dapat berbuat salah.

Rakyat sepur-setar adalah penonton yang tidak segan memetik bintang gosong di langit tertinggi, maupun mendorong sepur modernitas ke tujuan terjauh tanpa kehilangan humor dan kritik-diri.

Pada saat khotbah terdengar di mana-mana setiap hari kini, lelucon yang tak berpretensi apa-apa –sebagaimana yang pernah diberikan ludruk dan Srimulat kepada kita—bisa lebih dari sekadar membuat cerdas.

Namun, saya kira, ini hanya bisa terjadi jika para pemain, sutradara, dan penulis cerita tak berlaku sebagai pahlawan, tetapi lincah meringankan diri sebagai sepur-setar.

 

Nirwan Dewanto

Penyair

(gambar ilustrasi oleh: Toni Malakian)

Tulisan di atas merupakan kolom ragam pada pertunjukan Indonesia Kita: Musikal Ludrukan – Kartolo Mbalelo