Dari muara Mahakam, ketika sarana transportasi air belum secanggih sekarang, mereka yang berperahu dari muara mapupun hulu selalu kehabisan bekal tiap tiba di tempat itu. Yang dari muara kehabisan bahan makanan, yang dari hulu kehabisan minyak dan garam.

Entah bagaimana asal-muasalnya, muncul kebiasaaan, ketika orang-orang muara memperoleh bahan makanan, dan menggantinya dengan minyak dan garam. Sementara orang-orang hulu memperoleh minyak dan garam, dan menggantinya dengan hasil ladang dan kebun –dari beras sampai singkong.

Tak ada yang mengawasi. Tak ada tawar-menawar. Bayangkan saja, orang-orang muara dan hulu menaruh dan mengambil barang-barang itu di sebuah bangunan kosong, lalu mengambil dan memberi dalam takaran-takaran setara sebatas keperluan untuk sisa perjalanan. Kedua kelompok mengikatkan diri  pada kesamaan rasa bergantung, saling percaya, serta kesadaran bahwa untuk ini diperlukan konsistensi; jangan pernah mengambil tanpa pernah memberi.

“Sekarang kebiasaan baik ini hilang. Di antara mereka yang datang dari muara ada yang mengambil semua, dan tidak meninggalkan apapun,” kata pelukis asal Samarinda, almarhum Risyahibban, belasan tahun silam.

Seperti ladang padi, rata-rata kebun singkong di hulu Mahakam berada jauh dari perkampungan. Sebagian harus dicapai dengan menyeberang sungai. Tapi Anda tak harus menemui pemilik singkong di situ, jika tiba-tiba memerlukan singkong, cabutlah sebatang, lalu setelah mengambil umbi-umbinya, tancapkan batang terbalik di tempatnya diambil, di kebun itu. Ini dapat dianggap sebagai pernyataan, bahwa Anda telah meminta, bukan mencuri.

“Kami punya acara mengatasi problem komunikasi di keluasan wilayah. Ya, sesederhana itulah –cukup dengan menancap terbalik batang singkong yang diminta,” ujar Idzuarrosnanta, warga Jembayan, Kutai Kartanegara. Namun jangan coba-coba nakal. “Mengabaikan ini bisa berakibat serius di lambung Anda!” tambahnya.

Syahdan, orang-orang hulu Mahakam pun punya cara mencukupi kebutuhan akan bahan makanan. Tiap kepala punya ladang, dikelola oleh pribadi-pribadi. Sekian persen hasil panennya masuk lumbung kampung. Tiap keluarga punya ladang, diurus oleh kesatuan keluarga. Sebagian hasil panennya juga masuk lumbung kampung. Tiap kampung punya ladang, ditangani oleh segenap warga. Sepenuh hasilnya masuk lumbung kampung.

Itulah cara mereka bertahan dari kemungkinan paceklik. Siapa pun bisa meminta beras di lumbung kampung, termasuk untuk bekal perjalanan ke muara, serta pengganti minyak dan garam yang mereka peroleh di tengah perjalanan tadi.

Apakah yang sudah ‘ditancapkan terbalik’ untuk batu bara dan emas bumi Mulawarman yang sudah dikeduk, minyak dan gas yang disedot, serta pohon-pohon hutan Kalimanatan Timur yang ditebangi, kecuali danau-danau menganga, kota-kota mati, serta genangan banjir dimana-mana? Jika batubara, emas, gas, minyak, dan kayu adalah beras dan singkong, ‘minyak dan garam’ setakaran apakah yang sudah ditaruh ‘orang-orang muara’ di tengah bentang Mahakam? Apakah hanya orang muara yang perlu ke hulu, dan orang hulu tak perlu ke muara?

Dua puluh tahun silam saya menyertai serombongan perupa dari Yogyakarta. Kami disambut hangat di tepi Sungai Kelinjau, anak sungai Mahakam. Setelah makanan yang lezat, adapula suguhan tari lokal. Persoalan kecil muncul ketika sekelompok orang tua menginginkan tarian itu diiringi musik hidup, sementara beberapa anak muda menawarkan iringan dari tape recorder. Urusan ini selesai, ketika calon penonton memilih. Kami memilih musik hidup.

“Anak-anak sekarang hanya bisa memakai. Bukan membuat,” kata seorang amay (bapak) tua kepada saya, larut malam itu. Jika semua tarian cukup diiringi musik dari tape recorder, siapakah yang akan mendalami sampeq, jantung utang, klentengan, gong, suling dewa, kelali, gendang gimar, dan instrumen-instrumen musik yang seperti umumnya nilai-nilai tradisi, tidak terlahir begitu saja?

Syahdan, kedewasaan generasi amay dulu ditandai oleh kepemilikan sebilah mandau yang harus mereka buat sendiri. Bukan mereka beli. Tahun 80-an itu amay sudah sangat merisaukan kecendrungan konsumtif dan kerapuhan kearifan-kearifan lokal, akibat syahwat tak terkendali di area tambang dan kawasan Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Kampung-kampung dadakan muncul di tengah hutan, di mana pohon-pohon ditebang untuk dihanyutkan ke pabrik-parik kayu lapis dan sawmill.

Pak tua ini bukan menolak hasil-hasil capaian teknologi pemanfaatan kekayaan alam, yang betapapun membawa kebaikan juga. Orang hanya perlu menancapkan ‘batang singkong terbalik’ untuk umbi-umbi yang mereka perlukan. Orang hanya perlu mengganti bahan makanan yang mereka ambil dengan minyak dan garam, dalam tata hubungan dewasa. Sekadar semacam pengakuan, dan timbal balik yang sepadan.

Beliau agaknya hanya tak habis pikir, bagaimana keramahan penerimaan dan toleransi dilarutkan ulah eksploitatif dan abai. Orang-orang di kampung dadakan itu tidaklah datang dengan niat buruk. Mereka adalah orang-orang upahan. Orang-orang yang mengupah mereka pun adalah kelompok cerdik, yang terampil memanfaatkan peluang. Di tangan para pencipta peluanglah urusannya tergenggam.

Diperlukan kendali, entah oleh siapa dan berupa apa, agar kearifan hulu dan gairah muara menjelma bagai Sungai Mahakam yang betatapun panjang meliuk-liuk, toh terbentuk oleh air yang sama. Air yang pada waktunya ikut mewarnai laut yang menyatukan Nusantara juga.

 

Syafril Teha Noer

(gambar ilustrasi oleh: Toni Malakian)

Tulisan di atas merupakan kolom ragam pada pertunjukan Indonesia Kita: Kutukan Kudungga