Awal tahun 2000, saya dan beberapa teman wartawan menjumpai ritual yang khas dan menarik di sebuah desa daerah Trucuk, Klaten. Kata penduduk setempat, waktu itu desa tersebut dihampiri pageblug, beberapa orang mati dalam waktu yang berturutan. Warga desa sepakat mengadakan ritual. Menurut cerita, dulu ritual itu cukup sering diadakan, lebih-lebih di saat desa terserang pageblug. Tujuannya untuk tolak bala, menyelamatkan warga dari segala bahaya dan malapetaka yang disebabkan oleh roh jahat. Entah mengapa selama Orde Baru, ritual tersebut dilarang.
Demikian kurang lebih jalannya ritual itu: sekelompok warga desa, semuanya lelaki, berkumpul di sebuah pos. Terdengar suara kentongan ditabuh. Lampu-lampu segera dimatikan, dan para lelaki itu membuka baju dan melorotkan celana atau sarungnya. Mereka jadi telanjang bulat. Mereka berbaris rapi. Paling depan adalah sesepuh yang membawa klaras (daun kelapa) diikuti beberapa lelaki yang membawa obor. Lalu berjalanlah barisan lelaki telanjang itu mengelilingi desa. Selama barisan itu berkeliling, kaum perempuan harus tinggal di rumah, dan tak boleh mengintip, apalagi melihat. Ritual ini juga bukan untuk ditonton, tapi diikuti dan orang dituntut untuk menaruh hormat pada barisan lelaki telanjang itu. Maka, setiap kali mereka melewati pasar, termasuk kami, harus jongkok, tanda bahwa kami menghormati mereka.
Ritual ini dilakukan tiga kali dalam semalam, selama 40 hari berturut-turut. Jadi, setelah selesai satu putaran, para lelaki itu harus berkumpul kembali, lalu telanjang, dan berbaris mengelilingi desa lagi. Begitu juga untuk putaran yang ketiga pada malam yang sama. Selama berbaris mengelilingi desa, para lelaki telanjang itu tidak hanya diam, tapi juga mengucapkan sebuah rapal atau mantra yang sama dan berulang-ulang. Sejenak didengar rapal itu kedengaran saru dan nyaris vulgar. Memang rapal itu berisi sebutan organ-organ kelamin lelaki dan wanita. Ritual yang memakai rapal demikian sesungguhnya lumrah dilakukan dalam masyarakat agraris yang tradisional. Soalnya, sebutan organ-organ kelamin manusia, lelaki dan wanita itu, biasanya berkenaan dengan ritus kesuburan yang biasa dipraktikkan oleh petani Jawa di zaman dahulu. Jadi dalam konteksnya, rapal tersebut sesungguhnya tidaklah saru. Malahan jika diikuti dan didalami benar, rapal itu menimbulkan efek magis yang luar biasa. Demikianlah bunyi rapal itu:
Pring-pring petung,
Anjang-anjang peli bunting,
Ojo menggok ojo noleh,
Ono turuk gomblah-gambleh
Mematahkan tabu sakral
Rapal tersebut kemudian saya tuliskan daam puisi saya Rep Kedhep. Tak menyana tak mengira, sekian tahun kemudian rapal tersebut banyak terdengar di mana-mana, paling tidak di Yogyakarta dan sekitarnya. Siapa lagi yang mempopulerkannya jika bukan teman-teman dari Jogja Hi-hop Foundation (JHF)? Teman-teman JHF mengolah rapal tersebut dengan amat mantap dalam garapan lagu hip-hop mereka.
Berkat digarap dalam lagu dan irama hip-hop, anak-anak muda, remaja dan anak-anak, laki-laki maupun perempuan , suka membunyikan rapal tersebut, termasuk puisi Rep Kedhep-nya. Mereka hapal di luar kepala. Pada kesempatan teman-teman JHF mementaskan lagu itu, anak-anak muda itu langsung ikut. Mereka menari-nari dan meneriakkan rapal tersebut, nyaris seperti terbawa dalam trance. Tiada lagi yang terasa saru. Malahan kesannya, suatu bahasa dan suasana sakral dan ritual tiba-tiba masuk dan meresap ke dalam situasi hidup yang sekular dan non-sakral ini. Lagu dan irama itu ternyata bisa menjadi alat untuk mentransedensikan situasi yang non-sakral ini ke dalam situasi yang berdimensi lain, dan anak-anak yang teresapi rumusan rapal dalam garapan lagu-lagu hip-hop itu menjadi pelaku bagi semuanya itu. Anak-anak itu seperti mematahkan tabu, sehingga dalam situasi yang nyaris trance itu tiada lagi perbedaan antara yang sakral dan non-sakral.
Rapal pring-pring itu menjadi lagu, tapi bukan sakadar lagu, karena di dalamnya terasa bahasa ritus yang sakral mengejewantah. Apalagi rapal tersebut dilafalkan bersama puisi Rep Kedhep yang intinya permohonan seorang insan untuk diperkenankan masuk ke dalam kosongan, di mana nafsu akan dipadamkan, sampai sirep-lah daya kelelakian yang menyiksanya. Tentu, itu semua terjadi berkat kerja kreatif teman-teman JHF. Mereka mencoba menyelami puisi Rep Kedhep, lalu berwacana dengannya, sampai kemudian tiba pada inti yang hendak mereka sampaikan lewat garapan hip-hopnya. Ketika mereka bertanya pada saya, “Apakah kami boleh menggarap puisi Anda?” Saya pun menjawab, “silakan!” Memang mereka merusak puisi itu di sana-sini. Saya maklum, karena itulah cara untuk menjadikan puisi itu lagu hip-hop. Saya tak kecewa, malah saya salut kepada mereka, karena mereka bisa sedemikian masuk ke dalam puisi itu, dan di dalamnya menemukan kekuatan serta daya tersembunyi yang belum terolah oleh puisi saya.
Saya mengakui, betapa terbatasnya kata-kata saya. Dan itu toh baru ternyata, ketika saya merasa, teman-teman JHF bisa memperkaya keterbatasan itu menjadi irama yang membangkitkan naluri magis sedemikian banyak orang. Saya salut bahwa mereka akhirnya berhasil menerobos keterbatasan itu menjadi irama yang membangkitkan naluri magis sedemikian banyak orang. Saya salut bahwa mereka akhirnya berhasil menerobos keterbatasan kata-kata saya. Isi puisi saya ternyata jauh lebih kaya daripada yang dapat saya tangkap dengan kata-kata.
Nong ji nong ro
Menjadi keheranan saya juga ketika mereka menggarap puisi “Cintaku Sepahit Topi Miring”. Puisi ini mengisahkan tentang Ranto Gudel, pelawak, peminum, yang kemudian menyadari semua kesia-siaan hidupnya. Anak-anak muda selalu bersemangat dan bergembira, ketika mereka ber-hip-hop dan menyanyikan refrain, yang saya kutip dari mbah Ranto sendiri
Sengkuni ledha-ledhe,
Mimpin baris ngarep dhewe,
Eh barisane menggok,
Sengkunine malah ndeprok.
Namun ada yang lebih dari itu, yakni kreasi teman-teman JHF ketika mengubah refrain dari kata-kata puisi saya, nong ji nong ro bagi musik hip-hop mereka. Waktu menulis, saya menceritakan bagaimana Pak Mloyo, rekan Mbah Ranto, mabuk karena kebanyakan minum ciu cangkol, dan terguling ke Bengawan Solo. Pak Mloyo adalah wiyaga, pemukul kenong di wayang orang Sriwedari. Saya mengkhayalkan, ketika terjungkir ke kali, ia sedang mendengarkan irama nong ji nong ro. Saya membayangkan, suara itu datang dari kenongnya. Tapi saya tak dapat mengeksplorasinya lebih jauh, walau saya yakin, masih ada suatu bunyi-bunyi yang lebih indah daripada sekadar bunyi kata-kata nong ji nong ro.
Ternyata teman-teman JHF-lah yang kemudian bisa mengeksplorasinya lebih dalam. Mereka lalu menghentakkan nong ji nong ro itu dengan irama yang amat jenaka. Apalagi, tiap sampai pada kata-kata itu, mereka mengulanginya beberapa kali, hingga menjadi laras bunyi yang ajeg. Saya merasa dalam gubahan mereka, saya menemukan apa yang waktu itu saya ingin temukan tapi tak bisa saya temukan: kegembiraan, kekonyolan, yang lahir dari pemukul kenong, yang sedang mabuk, sampai Ranto Gudhel tertawa: itu perahu botol cangkol, mengalir sampai jauh, akhirnya ke laut berombak ciu.
Tak sekadar ber-entertain
Kata adalah bunyi. Tapi ternyata bunyi lebih kaya dan lebih dalam daripada kata, dan selalu, kata tak dapat menangkap seluruh kekayaan dan kedalamannya. Ini pula yang saya rasakan, ketika saya menikmati lagu-lagu hip-hop teman-teman JHF, yang menggarap puisi-puisi saya. Misalnya itu tampak dalam garapan lagu mereka Ngelmu Pring:
Pring reketeg
gunung gamping jebol,
susu metheg-mentheg,
bokong gedhe megal-megol.
Mereka melagukan refrain Ngelmu Pring itu dengan kocak. Tapi refrain itu hanyalah interval, yang membantu orang untuk menikmati apa yang dimaksud dengan ajaran tentang bambu: bahwa bambu adalah tanaman sederhana, tapi dari kesederhanaan itu lahirlah segala-galanya, mulai dari lidi, pagar, usuk, tampah, pikulan, lincak, dan sebagainya. Bambu atau pring juga mengingatkan kita untuk selalu eling, eling terhadap diri kita sendiri, sesama, kematian, dan Tuhan. Tak terbayangkan, bahwa ngelmu sepuh, ilmu kebijaksanaan yang biasanya hanya dinikmati oleh orang-orang tua itu, sekarang menancap pada orang-orang muda, sekurang-kurangnya di bibir mereka, ketika mereka menyanyikan Ngelmu Pring dalam irama hip-hop.
Berkat garapan teman-teman JHF, saya disadarkan bahwa, kebijaksanaan lama, yang melekat pada kultur dan tradisi kita, ternyata tetap bisa menyapa anak-anak di zaman sekarang, asal diolah dalam irama dan nada yang tak asing dengan dunia mereka, seperti irama hip-hop. Namun itu pasti mengandaikan, bahwa teman-teman JHF tak sekadar berniat untuk menggarap lagu. Lebih dari itu, seperti dikatakan Marzuki – Kill The DJ, pendiri JHF, mereka harus berwacana dengan puisi yang mereka garap. Wacana demikian tidaklah mudah, karena mereka adalah anak-anak muda zaman ini, yang tak lagi akrab dengan warisan-warisan lama.
Tapi mungkin, wacana itu bisa terjadi karena mereka membuka diri terhadap kekuatan-kekuatan kata yang merangkumkan kebijaksanaan-kebijaksanaan lama. Keterbukaan itulah pintu masuk bagi harta kultural-tradisional untuk bisa mewujud dalam alam modern ini. Tanda, bahwa teman-teman JHF mau terbuka, adalah kerelaan dan susah payah mereka untuk menggarap puisi-puisi Jawa yang pada dirinya sendiri seakan tak mempunyai lagi relevansi di zaman ini. Hasil jerih payah mereka patut diacungi jempol. Kini banyak anak-anak muda dan remaja bisa menyanyikan dan menikmati khazanah klasik dan lama, bahkan dalam situasi yang paling rekreatif dan entertaining sekali pun. Memang, bagaimanapun, hip-hop adalah entertainment. Maka mengherankan, bahwa entertainment demikian toh tetap mampu menampung dan melestarikan kebijakan-kebijakan leluhur yang nyaris sudah hilang ditelan zaman. Maka dengan ber-hip-hop, anak-anak itu sesungguhnya tidak sekadar ber-entertainment, tapi juga, tanpa mereka sadari, meresapkan dalam-dalam kebijaksanaan kultural, yang kiranya juga masih berguna untuk zaman ini.
Tak hanya Ngelmu Pring, mereka juga mengolah apa yang menurut saya sendiri sebenarnya sangat sulit untuk dipahami, yakni puisi Sembah Raga. Puisi ini sebenarnya adalah gugatan terhadap kebijakan tradisional yang cenderung mendewa-dewakan batin atau sukma. Puisi ini mengajak agar orang menghargai raga, badan manusia, dan dengan belajar pada raga, orang-orang akan memperoleh kebijaksanaan, seperti kerendahan hati dan tahu diri akan keterbatasan dan kelemahannya, hal yang sangat dibutuhkan untuk hidup sebagai manusia.
Maktu menulisnya dulu, bagi saya, Sembah Raga itu hanyalah terang dan jelas sebagai pengertian. Sekarang dengan digarap menjadi hip-hop, dan dilagukan dengan pelbagai kekuatan instrumental, Sembah Raga itu kedengaran sebagai mantra yang memasuki roso, kedalaman afektif batin manusia, hingga kata-kata di dalamnya tak lagi hidup melulu sebagai pengertian, tapi juga sebagai perasaan, yang bisa lebih menggugat seseorang.
Sembah Raga tak usah lagi didendangkan dalam keheningan dan kekusyukan. Malah karena garapan hip-hop, sekarang ia bisa didengarkan dalam keramaian dan kegegapgempitaan. Justru itulah yang menjadi tujuan Sembah Raga: manusia jangan mengasingkan diri dari raganya, yang terkait pada dunia ini dengan segala ikhwalnya, termasuk dengan keramaian dan kegegapgempitaan hidupnya. Tiba-tiba hip-hop sendiri terasa sebagai semacam sembah raga. Tak heran, jika anak-anak yang melagukannya juga seperti dibawa ke dalam alam sujud, yang biasanya hanya terjadi pada kesempatan-kesempatan ritual.
Hal yang sama juga terasa dalam garapan mereka Ngelmu Kyai Petruk. Saya tak mengira bahwa bagian terakhir dari puisi saya, mereka jadikan refrain. Bagian terakhir ini adalah ritme yang ditimbulkan oleh pengulangan kata Ni Daruna Ni Daruni, yang kemudian diikuti oleh petuah Kyai Petruk, Ratu Merapi, yang ternyata hanyalah pak tani. Bagian ini diolah dengan suara dan bunyi-bunyian instrumen yang tenang dan menimbulkan efek magis. Lalu dengan nada yang berat dan dalam, mereka menyanyikan bait-bait lainnya, misalnya:
Precil mijet wohing ranti,
seneng mesti susah,
susah mesti seneng,
aja seneng nek duwe,
aja susah nek ra duwe.
Ni Durana Ni Durani adalah makhluk halus, denying Gunung Kawi. Bersama Kyai Petruk, Ratu Merapi, mereka mengajarkan tentang hidup yang mesti berisi senang dan susah. Senang dan susah tak usah dilawankan, karena dalam susah selalu ada senang, dalam senang selalu ada susah. Ilmu ini akan tersimpan sebagai kata-kata saja, seandainya tidak dikerjakan dan dialihkan menjadi musik hip-hop. Sekali lagi tampak, betapa hip-hop bukanlah wadah yang asing bagi kebijakan yang terkesan kuno itu.
Bagaimana mungkin itu terjadi? Mungkin karena hip-hop sendiri menyediakan segudang kemungkinan bunyi dan irama, dan teman-teman JHF mampu mengeluarkan persediaan itu untuk menangkap pelbagai pengertian puitis klasik yang semula tak terkesan mempunyai relevansi buat anak-anak zaman modern ini.
Pembatinan kritik sosial
Tak hanya berkenan dengan perkara ngelmu yang daam dan berat, teman-teman JHF juga menggarap Jula-Juli saya yang bermuatan kritik-kritik sosial, seperti Jula-Juli Zaman Edan, Jula-juli Guru, Jula-Juli Lolly Pop, dan Jula-Juli Ora Cucul Ora Ngebul. Semua Jula-Juli ini bernapaskan irama iringan ludruk. Namun dalam garapan teman-teman JHF, napas ludruk itu sudah tidak terasa lagi, yang terasa adalah napas hip-hop, dan napas itu berbeda dari satu Jula-Juli ke Jula-juli lainnya. Yang jelas begitu digarap dengan irama hip-hop, semua Jula-Juli itu menjadi kocak, jenaka, komikal, dan nakal.
Anak-anak, bahkan tukang-tukang becak yang juga sering ikut mendengar hip-hop mereka lewat radio, jadi mudah menghapalkan lirik-lirik itu. Sambal menari-nari, berjingkrak-jingkrak kocak, dan bergelak-gelak, anak-anak muda itu melantunkan dengan keras kritik-kritik sosial terhadap zaman ini. Panggung hip-hop tak hanya sekadar jadi pentas hiburan, tapi tempat pembatinan dan pewacanaan kritik-kritk terhadap keadaan sosial dan politik kita yang tidak karu-karuan di zaman edan ini. Begitulah misalnya yang terjadi ketika teman-teman KHF mengajak mereka menyanyikan Jula-juli Ora Cucul Ora Ngebul, yang mengkritisi politik sebagai gendhakan atau perselingkuhan ini:
Nek wong sugih gendhakan ndhek hotel sing larang,
bermain cinta, gak sampe konangan.
Nek wong kere, nginep ndhek hotel krusuk,
durung anget, wis ketangkep.
Nek selingkuhe wong sugih konangan, jenenge tambah kondhang,
Nek wong cilik sing konangan, dikarak telanjang.
Padha-padha gendhakane, hukume dhewe-dhewe,
pancen dulur, hukum iku gendhakan wong gede.
Lirak-lirik, ngajak turu ndhek petengan,
koalisi politik jane mek perselingkuhan.
Beras larang, minyak mundhak gak karuan,
politik ngrangssng, mek rebut ngurus gendhakan
Mula dulur, ojok munafik koyok wong politik,
dadia wong seni sing kritis, masio dhuwike mung sethithik.
Pengarang yang hilang
Waktu saya menulis puisi-puisi itu, tak pernah mengira, bahwa puisi-puisi tersebut akan dinikmati oleh khalayak luas, lebih-lebih kalangan muda. Tak pernah pula saya bayangkan bahwa puisi-puisi itu bisa dimusikkan ke dalam hip-hop. Tidakkah hip-hop itu aslinya adalah musik kelompok Negro di Amerika itu sangatlah jauh dengan dunia ngemu atau Jula-Juli Jawa? Mana mungkin irama Barat modern yang menghentak-hentak itu merasuk ke dalam irama yang asal usulnya adalah gamelan yang tenah dan penuh kontemplasi? Ternyata itulah yang terjadi, dan dengan penjadian ke dalam hip-hop itu, puisi-puisi itu serentak menjadi bernilai baru sama sekali! Saya tak bisa membayangkan, apakah dan bagaimanakah perasaan anak-anak yang berhip-hop dengan “barang-barang dan nilai-nilai lawasan” itu. Yang jelas, sekarang hal-hal lawasan itu ada di bibir mereka, malah mereka hapal di luar kepala lebih daripada saya sendiri.
Sungguh, ketika berjingkrak-jingkrak di pentas hip-hop, anak-anak muda bisa mengikuti teman-teman JHF yang berpentas dan menyaksikan seluruh lirik lagunya. Mungkin sambil berhip-hop ria, mereka menginterpretasikan sendiri teks-teks itu, atau membatinkannya, atau mengkomikkannya dan menjenakakannya, atau sekadar melagukannya…, saya tak mengetahuinya. Atau mungkin, mereka merasakan ada semacam kekuatan mantra yang merasuki diri mereka…, saya juga hanya bisa menduga. Pendeknya, semuanya sudah tak bisa lagi dikontrol dengan maksud saya semula. Mungkin begitulah nasib sebuah puisi atau lirik seharusnya.
Dalam hal ini, saya ingat pengakuan seorang penyanyi dan pengarang lagu Mary J Blige. Mary J Blige, penyanyi dari New York, dikenal sebagai seorang rapper. Ia juga disebut-sebut sebagai salah satu perintis hiphop-souls. Lagunya yang terkenal adalah No More Drama. Lagu itu adalah ungkapan kepahitan hidupnya. Lirik-lirik keluar dari perasaan, betapa ia sesungguhnya amat membenci dirinya. Ia merasa jelek, dan menganggap manusia di sekitarnya tak pernah mencintainya. Mereka hanya memanfaatkannya. Keluarganya adalah keluarga peminum. Hari-harinya dilewatinya hanya dengan minum, dan ia ikut dalam irama itu. Maka diungkapkannya dalam lagu No More Drama itu ratapannya, harapannya, semoga tiada lagi drama, tiada lagi ketakutan atau kesakitan. Ia sudah lelah dengan semuanya itu. Mary J Blige bilang, semula lagu itu ditujukan untuk dirinya sendiri. “Waktu itu saya lelah, saya lelah karena menjadi musuh bagi diri saya sendiri,” katanya. Tapi, ketika teman-temannya mulai meninggal, dan ia menyanyikan lagu itu, semuanya jadi lain rasanya. “Dan setelah peristiwa 11 September 2001, lagu itu mendapati arti yang sama sekali baru. Sekarang lagu itu tidak lagi berkenan dengan kebencian terhadap diri saya sendiri. Sekarang lagu itu bagaikan himne yang melawan segala kebencian di dunia. Saya menyanyikan lagu itu dengan cara lain, dan orang mendengar lagu itu dengan perasaan yang lain. Lagu dan lirik No More Drama tak berkenaan dengan diri saya lagi. Begitulah yang kerap terjadi. Saya sendiri dulu tak sedikit pun pernah berpikir untuk menuliskan sebuah lagu berkenaan dengan peristiwa sekarang ini. Lagu toh sudah ada sebelum peristiwa sekarang ini,” kata Mary Blige (Der Spiegel 34/2003).
Tak pernah saya kira puisi saya “bernasib” menjadi hip-hop. Tak pernah pula saya bayangkan, bahwa puisi saya “nyasar” di kalangan anak-anak muda, yang kiranya jauh dari suasana dan kata yang saya punya. Juga tak pernah saya berpikir, bahwa puisi saya diinterpretasikan, “dipermak” –kalau tidak boleh dibilang “dirusak” oleh teman-teman JHF menjadi lagu hip-hop mereka. Tak berlebihan, bila saya memakai kata “dipermak” atau “dirusak”, karena bahkan dalam beberapa garapan, lirik mereka pun tak lagi persis dengan lirik yang saya ciptakan. Teman-teman JHF telah bekerja keras untuk “mendobrak” dan “mengobrak-abrik” teks saya menjadi lagu dan irama, yang sesuai dengan cita-cita musik hip-hop mereka. Saya rela, serela-relanya bahwa itu terjadi. Bukan karena terpaksa, tapi memang karena begitulah tampaknya harus terjadi, bila puisi ingin hidup dan berporses.
Demi kehidupan dan proses itu, saya kiranya harus bersikap acuh tak acuh terhadap teks saya sendiri, seperti yang diajarkan oleh Samuel Beckett: teks itu tidak peduli siapa-siapa, dan tak peduli pula akan siapa yang bicara. Menurut Michael Foucault, ketidakacuhan itu adalah salah satu prinsip dasar etis bagi penulisan, lebih-lebih di zaman sekarang. Prinsip itu menggariskan, bahwa penulisan adalah praxis, bukan upaya untuk mengejar apa yang ingin dihasilkannya, dan prinsip itu berlaku sebagai semacam aturan atau ketentuan, yang berlaku terus-menerus, karena itu bersifat etis. Maka sebagai praxis, penulisan adalah hal yang harus dikerjakan, bukan hal seperti teori yang cukup dianalisis dan dipikirkan.
Sebagai praxis yang etis tadi, menulis pertama-tama perl membebaskan diri dari tema “ekspresi diri”. Bahkan kalau penulisan itu berkaitan dengan dirinya sendiri, itu pun tidak terjadi dalam format untuk mempertahankan diri dalam dimensinya yang batiniah dan tak terhampiri. Artinya, tulisan tersebut mengacu mengidentifikasi dirinya pada hal-hal di luar dirinya, si penulis akan ditatapkan pada keterbatasannya, maka terbukalah suatu ruangan, di mana subyek yang menulis itu menghilang dan semakin menghilang lagi.
Berikutnya, menurut Foucault, penulisan sesungguhnya mempunyai hubungan yang erat dengan kematian. Tulisan-tulisan klasik, seperti sastra Yunani, berupaya menghindari kematian itu dengan mangabadikan tokohnya sebagai orang yang tidak dapat mati. Sekarang, kematian itu bermetamorfosa menjadi pengorbanan: dengan menulis, orang rela untuk memadamkan dirinya. “Karya yang mempunyai tugas untuk menjadi tugas untuk menjadi “tidak mati”, berhak untuk membunuh, untuk membunuh pengarangnya.” Penulis itu akhirnya ditandai oleh tanda yang khas, yakni ketidakhadiran dan penghilangan dirinya. Maka, walau tidak disajikan dalam karyanya, penulis mesti rela mengambil peran kematian dalam penulisannya. Sesungguhnya, menurut Foucault, menghilangnya dan matinya pengarang sudah diadalami dan diketahui oleh kritik literature dan filsafat dalam kurun waktu yang cukup lama (Lih. Michael Foucault: Schriften zur Literatur, Munchen 1974, hlm. 7 – 14).
Terlalu agung dan luhur rasanya menerapkan pemikir besar sekaliber Foucault pada proses metafora puisi-puisi saya menjadi lagu dan musik hip-hop. Namun, dalam proses tersebut sekurang-kurangnya saya boleh mencecap kebenaran teorinya. Dalam lagu dan lirik hip-hop yang digarap teman-teman JHF, puisi-puisi saya memang masih hidup, tapi hidupnya tadi sudah bukan denga nisi, makna dan cara, seperti yang dahulu saya maksudkan, ketika saya menulisnya. Di balik ini semua, saya sendiri sudah tiada sama sekali, sudah terbunuh dan mati! Bagaimana saya sebagai pengarang menuntut diri saya masih “hidup”, wong dalam lirik dan garapan yang dikerjakan teman-teman JHF terjadi metamorfosa yang luar biasa, sampai tak terasa bahwa lirik itu dulu adalah lirik yang saya kerjakan? Apalagi, ketika lirik-lirik itu dipentaskan dalam keramaian dan gegap gempit hip-hop, di sana saya sungguh hilang, mengikuti keramaina mereka saja rasanya harus saya paksa-paksakan.
Dalam lirik teman-teman JHF, “saya” sebagai “pengarang” atau “penyair” sudah terbunuh dan mati, tapi seperti saya katakan berulang kali, saya “rela” malah ikhlas seikhlas-ikhlasnya. Itu bukan karena saya telah memenuhi tuntutan etis, seperti dikemukanan Foucault. Saya ikhlas, malah bersyukur bahwa “saya” terbunuh dan mati, karena itu berarti, bahwa “puisi” saya tetap hidup terus, walau dengan cara, makna dan isi hidup yang sama sekali baru.
Sekarang sekurang-kurangnya saya tahu,mengapa teman-teman hip-hop getol dan mau menggarap puisi-puisi saya. Alasannya tentu bukan karena puisi-puisi saya berisi, berbobot, apalagi bermutu, tapi karena saya rela bahwa puisi-puisi saya bisa mereka rusak, dan pengarangnya bisa “dibunuh”. Saya salut dan bersyukur atas upaya teman-teman hip-hop ini. Dengan menggarap musik hip-hop dan puisi-puisi saya itu, ternyata mereka tak sekadar menciptakan hiburan, tapi juga sedang menjalankan wacana kematian penyair, seperti yang pernah dicetuskan dalam kritik sastra. Maka momen penciptaan mereka bukan sekadar momen hip-hop, tapi momen yang sastrawi, dan saya sendiri ikhlas, bahwa akhirnya saya juga “mati”. Dengan “kematian” itu, saya sudah membebaskan diri dari karya saya: saya sendiri sudah “tiada”, sementara karya saya terbang, entah kemana dan menjadi apa. Saya sudah tak terikat dan tak terbebani lagi oleh karya-karya saya. Terima kasih teman-teman JHF; Kill The DJ, Jahanam, Rotra tericinta! Mereka telah “membunuh” saya.
Ada indahnya bahwa saya pernah mati sebagai penyair. Sebab seperti dalam kehidupan, kematian sering bisa dimengerti dan didalami sebagai suatu pembebasan, dan itu melegakan sekali…
Yogyakarta, Sabtu legi, 7 April 2012
Sindhunata
wartawan, pemimpin redaksi Majalah Basis
(gambar ilustrasi oleh: Toni Malakian)