Tahun lalu, saat memeringati ulang tahun Anshor NU, di hadapan para Nahdliyin, ulama Kiai Mustofa Bisri mengatakan, jika periode-periode lalu bangsa ini pernah memanglimakan politik, lalu diteruskan menjadi ekonomi sebagai panglima, alias orientasi berbangsa mempertuhankan ekonomi, maka sekarang saatnya, “Kita harus menjadikan KEBUDAYAAN sebagai panglima!”
Lalu kiai penganjur pluralisme yang juga penyair dan pelukis ini, menganjurkan supaya pemimpin di masa mendatang bersedia menggali dan menggunakan nilai-nilai budaya dari desa sebagai landasan kepemimpinannya. Di desa, kata Gus Mus—demikian sapaan akrabnya—banyak tersedia kearifan lokal yang mampu membikin manusia punya rasa malu, sehingga seorang pemimpin tak akan mengobral kemaluannya dengan—misalnya—rajin korupsi.
Di desa, antarmanusia masih berelasi dan berkomunikasi dengan hati, sehingga seorang pimpinan diharapkan bisa benar-benar mendasarkan kebijakannya mengacu hati nurani, bukan sak-enak-wudele-dewe, suka-suka ati yang cendrung menafikkan kemanusiaan. Di desa, para petani bekerja dalam disiplin dan ritme yang selaras dengan alam dan tak mungkin mengkhianati lingkungan hidupnya, sehingga seorang pemimpin yang berkebudayaan tak akan memanjakan keserakahannya memangsa alam raya. Selebihnya, dari desa pula, seorang pemimpin bisa banyak belajar tentang kerendahhatian, konsistensi antara ucapan dan tindakan, ketekunan, keuletan, pengabdian, dan kesediaan menjadikan dirinya sebagai sumber ketauladanan.
Nilai-nilai itulah yang sekarang kayaknya sedang ngumpet. Kerinduan kita atas nilai-nilai itu, hari ini justru dijawab dengan gaya kepemimpinan bertopeng kesantunan. Kepemimpinan yang sibuk bersolek merawat citra alimnya, padahal di sebaliknya, terbukti sangat ganas berkorupsi.
Ketololan kolektif
Karena itulah jika pekan lalu—setelah diteror knalpot blombongan yang asu banget—kita telah menunaikan hajatan coblosan demi wakil rakyat, dan hari-hari mendatang kita akan memilih RI 1, tentu saja, sangat dinantikan munculnya pemimpin yang menjadikan budaya sebagai panglima, sebagaimana harapan Gus Mus. Kebudayaan sebagai pedoman. Politk dan ekonomi pun berlandaskan nilai budaya. Diplomasi internasional disokong diplomasi budaya sebagaimana dulu Bung Karno dengan cerdik pernah mempraktikkannya. Dengan begitu nusantara raya akan memiliki strategi kebudayaan yang kelak memandu perjalanan bangsanya.
Dalam konteks inilah, kita tidak ingin mengulangi ketololan kolektif yang mengartikan kebudayaan hanya sebagai kesenian, atau apalagi sekadar hiburan seperti didefinisakan oleh birokrasi. Kebudayaan kita maknai sebagai nilai-nilai kehidupan yang telah teruji dan mentradisi, dan terus berproses membuat manusia dan kehidupannya menjadi lebih baik. Di sinilah kita bisa berguru, kepada mereka yang mewakafkan hidupnya di ranah kebudayaan: para ilmuwan yang suntuk bereksperimen dan konsisten menguji temuannya di laboratorium yang sunyi, guru-guru yang sepanjang hidupnya memuaskan diri dengan membagi ilmunya, atau empu-empu kesenian, yang dari waktu ke waktu bersetia menjaga dan mengembangkan keseniannya. Itulah para maestro kita. Mereka bekerja dalam hening. Berkarya dalam sepi. Jauh dari hingar-bingar dunia dan liputan media.
Mungkin ini sebuah kontras. Ketika di ranah lain orang-orang membanggakan dengan diri sebagai “bangsa yang besar” dengan memroduksi slogan-slogan gagah—misalnya, “Indonesia Hebat”, “Indonesia Bangkit”, “Ayo Indonesia”, “Indonesia Bisa”—para maestro kita membuktikan kebesaran bangsanya dengan berpedoman pada tiga hal. Pertama, bekerja. Kedua, bekerja, dan ketiga, bekerja. Para maestro meyakini, pengabdiannya kepada ilmu dan kemahirannya yang tanpa batas itu, adalah amanah yang musti diusung dari waktu ke waktu. Tak ada tawar-menawar bernuansa transaksional, tak ada kontrak-kontrakan. Tak ada koalisi-koalisian. Tak ada slogan. Maestro-maestro itu telah memilih jalan hidupnya, plus segala risikonya. Terkadang risiko terasa getir, namun kepada para maestro itu kita bisa berkaca, untuk menemukan ketauladanan. Sungguh asyik jika RI 1 yang juli nanti kita pilih, mau ikutan bercermin kepada pengabdian para maestro itu, dan menjadikan kebudayaan sebagai panglima kepemimpinannya.
Butet Kartaredjasa
(gambar ilustrasi oleh: Toni Malakian)