Politik Indonesia seyogianya didarahi dengan semangat kejuangan, dengan keriangan. Keteladanannya bisa ditemukan pada perangai para pendiri bangsa mulia. Dalam suatu kesempatan, Bung Hatta menegaskan, “Bagi kami, Indonesia menyatakan suatu tujuan politik, karena dia melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.” Di kesempatan lain, beliau mengingatkan bahwa keseriusan kejuangan itu hendaknya dijalani dengan keriangan. “Di atas segala lapangan Tanah Air aku hidup, aku gembira. Dan di mana kakiku menginjak bumi Indonesia, di sanalah tumbuh bibit cita-cita yang tersimpan dalam dadaku.”

Ada momen ketika tokoh-tokoh mulia itu serius memasuki dunia “sakral”, di mana kedirian lebur ke dalam semangat dan identitas kelompok dalam memperjuangkan ideologi bersama. Ada saatnya pula mereka kembali ke dunia “profan”, di mana otonomi individu dipulihkan dengan kesediaan menanggalkan baju-baju identitas kelompok; bisa terlibat dalam keriangan interaktif sesama anak manusia, dengan jiwa kanak-kanak yang penuh spontanitas tanpa beban prasangka. Hidup yang sehat adalah hidup yang memahami tapal batas, kapan harus memasuki dunia sacral (kolektif), kapan pula harus memasuki dunia profan (menjadi diri sendiri).

Pertarungan politik di Badan Konstituante adalah konflik ideologis yang paling banyak menguras emosi kolektif dalam sejarah Republik. Namun, dalam momen sesengit itu pun, para negarawan kita tak lupa kembali ke kehangatan pergaulan dunia profan.

Syahdan, sampai menjelang akhir dekade 1950-an, Prawoto Mangkusasmito, tokoh Partai Masyumi yang menjadi Wakil Ketua I Konstituante (10 November 1956-5 Juli 1959), belum punya rumah pribadi. Di tengah suasana perbedaan pandangan politik yang tajam menyangkut Dasar Negara, I.J. Kasimo, Ketua Partai Katolik, tidak kehilangan kehangatan belas kasihnya, turut membantu Prawoto mengupayakan membeli rumah. Saat yang sama, Mohammad Natsir, figur kondang Masyumi lainnya, bisa dengan santai minum teh dan makan sate bersama dengan D.N. Aidit (tokoh Partai Komunis Indonesia) di kantin parlemen. Sikap yang sama ditunjukkan oleh K.H. Wahid Hasjim. Di luar wilayah “sakral”, tokoh NU ini bisa berdiskusi berjam-jam sampai larut malam dengan orang yang disapa “Paman Husein”, yang tak lain adalah Tan Malaka yang berhaluan kiri.

Ketegangan politik Indonesia hari ini, yang menjurus ke arah pembelahan segala ruang hidup, selain dibakar oleh ketegangan struktural juga disebabkan oleh terlalu luasnya penetrasi wilayah sakral. Cara berpakaian, cara bersekolah, cara membangun perumahan, cara bergaul, cara makan, cara bekerja, cara berekreasi, cara berkesenian, cara berpolitik, bahkan cara bepikir semuanya mengikuti logika sakral (identitas kelompok). Dengan tendensi sakralisasi nyaris segala ruang dan cara hidup, ruang profan yang memberi otonomi dan spontanitas individu makin terdesak.

Harus ada usaha relaksasi dengan mendesakralisasikan hal-hal yang tak sakral. Perlu diusahakan momen pencairan es, yang bisa mengembalikan warga dari kebekuan keseragaman dunia sakral menuju realitas keragaman dunia profan. Riset-riset sosiologi mengungkap bahwa ketertutupan relasional dalam dunia sakral dengan identitas kolektif yang sama memberi prakondisi bagi ekstrimisme identitas.

Dalam usaha itu, harus ada politik ruang yang mendorong kerapatan interaksi antaridentitas. Dalam proses interaksi antaridentitas ini, yang dikehendaki bukan hanya kemampuan menghargai perbedaan, tetapi yang lebih penting malah mencari persinggungan persamaan, sehingga warga bisa menyadari kedirian dalam ragam identitas: identitas agama, identitas suku, identitas bangsa dan lain-lain, sehingga tidak terbekukan oleh politisasi satu identitas.

Untuk itu, pola-pola pemukiman, persekolahan, dan pekerjaan yang eksklusif harus dihindari. Perlu ada diversifikasi penggunaan waktu luang: tidak hanya diisi oleh kegiatan “keagamaan”, tapi bisa juga dengan kesenian, olah raga dan prakarya, yang bisa mempertemukan keragaman dalam aktivitas bersama. Tradisi menyelenggarakan peringatan hari besar nasional di pemukiman dengan berbagai kejuaraan, festival dan pentas seni yang menyertakan keragaman warga dalam kepanitiaan patut dipertahankan.

Kesenian bisa menjadi alternatif relaksasi. Selain memberi pengayaan ruang interaksi sosial, kesenian juga bisa menghidupkan keriangan dan daya kelakar yang dapat menertawakan kedunguan dalam memulihkan kewarasan. Dalam pentas-pentas seni tradisional kita, seperti wayang, ludruk dan longser, selalu ada momen sela, di mana keterhanyutan penonton ke dalam emosi narasi fiksional diinterupsi oleh kehadiran punakawan atau sentilan-sentilan spontan untuk mengembalikan kesadaran penonton atas realitas kehidupan nyata.

Dalam konteks ini, apresiasi patut diberikan kepada Sujiwo Tejo dan kawan-kawan. Di sela gemuruh goro-goro pembelahan politik, sebuah kesadaran reflektif-rekonsiliatif diupayakan lewat rancangan pagelaran teater, “Indonesia Kita: Kanjeng Sepuh”. Bahwa Indonesia kita terancam pecah, karena dunia politik kehilangan teladan sosok Semar. Semar adalah figur orang tua yang berkuncung: merepresentasikan kearifan tetua politik yang tidak kehilangan keriangan jiwa kanak-kanak. Alkisah, Srikandi (entah dibisiki siapa) bersedia dinikahi Arjuna kalau Arjuna bisa memotong kuncung Semar. Ternyata Semar menolak.

Pesan moralnya jelas. Perjuangan politik yang sehat seperti pohon dengan visi ideologi yang menjulang ke “langit” sakral, namun tetap berakar di bumi profan, yang diwarnai keriangan interaksi kanak-kanak dengan pergaulan lintaskultural yang hangat dan spontan.

 

Yudi Latif

(gambar ilustrasi oleh: Toni Malakian)

Tulisan di atas merupakan kolom ragam pada pertunjukan Indonesia Kita: Kanjeng Sepuh