MALIN KUNDANG menjadi MALING KONDANG bukanlah sekadar plesetan. Jika diucapkan, terdengar seperti senada seirama. Dan nyatanya memang ada kesamaan yang bersifat substansial. Keduanya sama-sama sebuah pengkhianatan. Yang pertama, kisah klasik yang bertumbuh di ranah kebudayaan Minang, cerita tentang pengkhianatan anak terhadap ibu kandung, dan karenanya Si Malin, anak durhaka itu, dikutuk menjadi batu. Sedangkan MALING KONDANG , apalagi kalau bukan siasat permalingan yang dilakukan para pesohor politik dan birokrat republik ini: korupsi! Sebuah tindakan yang nyata-nyata mengkhianati amanah dan komitmen sebagai orang yang (seharusnya) terpercaya.
Maling Kondang alias penjahat beken nan tersohor, memang fenomena zaman edan. Zaman yang tengah berlangsung hari ini. Lihatlah mereka: orang-orang cantik dan ganteng. Wangi aromanya. Moncer namanya. Wajahnya kerap nongol di layar kaca serta menghiasi lembar-lembar koran dan majalah. Sebagai poli-tikus (ini predikat paling pas katimbang menyebutnya politisi) maupun birokrat atau pengusaha, mereka adalah orang-orang penting yang menjadi simpul dari berbagai aktivitas bernegara. Mereka mengemban amanah, dan alhamdulillah menyelewengkan amanah itu.
Barangkali mereka, para maling terhormat itu, merasa derajatnya lebih tinggi dari maling biasa. Melampaui pengertian makna “maling” seperti yang selama ini dipersepsikan orang kebanyakan. Dulu kala, orang membayangkan profesi maling adalah mereka yang kotor. Bukan hanya perilakunya, tapi juga fisiknya. Berpakaian lusuh karena saking melaratnya, lalu mengendap-endap di tengah kegelapan malam, membawa linggis untuk menyongkel pintu rumah sasaran yang hendak dijarahnya. Maling-maling konvesional sekadar mengusung benda-benda yang disangka berharga, itu pun jika ditotal-kopral nilainya tak bakal tembus miliaran rupiah. Paling pol puluhan juta. Lha wong yang digondol biasanya sekadar barang elektronik: televisi, laptop, ponsel, kipas angin, radio dan sebangsanya. Mau mengusung lemari seisinya, mana mungkin bisa. Mau menyikat tanah dan rumah, mereka pastilah mereka tak paham ilmunya. Apa yang dilakukan masih tradisional. Manual.
Berbeda dengan maling-maling resmi yang ibaratnya sudah kualitas “digital”. Maksudnya sudah melampaui batas-batas kecanggihan yang daya kecohnya menakjubkan. Ilmu permalingan klas digital itu: taktis-strategis-cepat-sistemik-produktif-rapi-efesien. Jika maling manual hanya menggondol uang recehan, maka maling kelas digital bakalan menyapu habis ke intinya, langsung ke jantungnya, menyaplok brankas tempat sumber keuangan berada yaitu di Badan Anggaran DPR RI.