Apa yang bisa dibayangkan ketika orang menyebutkan tentang “Melayu”? Tak jauh adalah sesuatu yang tidak bergengsi, rendah, dan bisa dibodoh-bodohi. “Itu dulu” menurut kawan saya bernama Mahmud. Dia mengaku orang Melayu asli, bertempat tinggal di sebuah pulau, berumah di tepi pantai, dan mewarnai banyak warisan seni budaya di dalam akal budinya. Itu memang ciri orang Melayu, khususnya di Kepulauan Riau, negeri yang lautnya lebih 95% dan sisanya adalah ratusan pulau itu.

Mungkin karena itu kita mengenal ada orang yang menyebutkan dengan istilah spion Melayu, bagi detektif yang tak professional dan kerap salah tangkap, cerita Melayu bagi cerita yang berlarut-larut dalam kesedihan, dan atau musik Melayu yang menjadi sebutan musik dangdut atau sejenisnya. Semua direndahkan.

Tapi tiba-tiba kesadaran kita itu pecah ketika semanagat kedaerahan muncul dan menguat paling tidak setelah era reformasi yang mulai memainkan peranannya pada hak-hak otonomi yang tidak hanya pada sisi pemerintahan, tapi sampai pada warisan kebudayaan serta globalisasi yang mengaburkan basa-basi, hingga nilai kemelayuan itu menyeruak dan muncul sebagai sebuah kekuatan.

Kepulauan Riau, sebuah kawasan budaya, merupakan sebuah negeri yang sudah ditakzimkan sebagai negeri Melayu, tercatat ratusan tahun lalu pada masa kejayaannya di zaman Riau Lingga hingga tahun 1913 ketika negeri Riau dimakzulkan oleh Belanda. Sebut saja zaman kerajaan Raja Haji Fisabiillah yang menguasai hingga Johor dan Pahang (Malaysia) kemudian puncak kesusastraan Melayu, Gurindam 12 yang ditulis Raja Ali Haji.

Inilah yang menjadi unik ketika orang Kepulauan Riau –menjadi provinsi sendiri sejak tahun 2004 karena memisahakn diri dari Riau– yang sebenarnya bersaudara kandung dengan orang semenanjung Malaysia yang dipisahkan karena Traktat London 1824 dulu, kini harus hidup berdampingan dengan duduk tak sama rendah dan berdiri tak sama tinggi. Melayu bagi Malaysia adalah kebudayaan nasional mereka, sementara Melayu di Kepulauan Riau adalah bagian dari puncak-puncak Kebudayaan Indonesia yang kita rasakan tak pernah memuncak itu.

Karena itulah orang melayu yang hidupnya sangat melekat dengan seni dan budaya yang dimiliki mereka itu harus berjuang mencapai dua tujuan sekaligus, menjadi bagian dari puncak kebudayaan nasional dan sejajar jika disandingkan dengan orang Malaysia.

“Tak ada satu daerah pun di Indonesia ini yang berbatasan secara langsung dan berdepan-depanan dengan sebuah negara, meskipun kecil tapi kuatnya luar biasa yaitu Singapura”, itu pun menurut kawan saya Mahmud. Saya tidak bisa menindakkannya. Jangankan orang Melayu Kepulauan Riau, pemerintah bangsa besar ini pun tak berdaya menghadapi negara jiran singa jadi-jadian itu. Orang Melayu di sana hanya menjadi bagian kecil dan mungkin sebentar lagi akan dimuseumkan di sana.

Seni budaya kami sama, bahasa kami sama, warisan adat kami sama, dan agama kami sama. Meminjam istilah Sutardji Calzoum Bahri “Kita datang dari pedih yang sama” Hanya kepedihan itu masih terasa di Kepulauan Riau hingga kini, negeri yang pada tahun 2010 kemarin sudah ditahbiskan sebagai pusat Tamadun Melayu itu oleh organisasi Melayu yakni DMDI (Dunia Melayu Dunia Islam) yang berpusat di Kota Malaka, Malaysia.

Merupakan pengakuan yang luar biasa, yang selama ini rasanya sangat sulit didapatkan. Bahwa dari negeri Melayu itulah sebenarnya sumbangan terbesar hasil bumi, minyak dan gas, serta devisa pariwisatanya. “Meskipun kembalinya tak seberapa…”, kata Mahmud sambal tersenyum.

Orang Melayu memang kerap tersenyum, baginya kehidupan adalah keindahan dan seni budaya itu sendiri. Kerap berpantun, bagi mereka, sampiran penting dan istilah indah barulah ia akan mengemukakan isi. Artinya ia mengutamakan keindahan dan keselarasan, barulah menyampaikan maksud yang ia inginkan.

Saya teringat, ketika negeri ini didemamkan oleh perebutan piala AFF yang membuat gegap gempita se-nusantara. Kita ingin meraih kemenangan dalam sebuah perjuagan. Saya ingat pertandingan yang sangat emosional melawan Malaysia sebagai puncak dari segalanya. Lalu kita kalah dengan begitu menyakitkan.

“Kita tak kalah, yang menang itu orang Melayu…”, kata Mahmud sahabat saya dengan bersahaja. Saya menepukkan telapak tangan di kening kepala saya, teringat dengan nama-nama pemainnya yang sama dengan kawan-kawan teman saya, dengan raut wajah yang tak berbeda jauh dengan sahabat-sahabat saya. “Ternyata orang Melayu bisa…”, dalam hati saya bicara sendiri, walaupun kecewa, saya coba riang-riangkan hati ini.

 

Hoesnizar Hood

Penyair, Ketua Dewan Kesenian Kepualauan Riau

(gambar ilustrasi oleh: Toni Malakian)

Tulisan di atas merupakan kolom ragam pada pertunjukan Indonesia Kita: Akar Melayu – Mak Jogi