Kita hidup di zaman semburan informasi tak berjilid. Teknologi memungkinkan penyebarannya cepat, lalu luber ke mana-mana. Informasi baik tentu tidak masalah. Menjadi masalah ketika informasi dikanibal, dicantelkan sembarangan, demi kepentingan sesaat. Lalu wara-wirilah informasi bertubuh utuh tapi tak sinkron dengan fakta. Secara sadar ada yang menyebarkan, pun ada penikmatnya.

Tidakkah terpikir akan berdampak pada suasana kebangsaan?

Seperti rombongan celeng berpesta pora di kebun singkong, membongkar tanah, dan merobohkan pohon-pohonnya. Petani, istri, dan anaknya hanya bisa meratap sedih di pagi menjelang. Impian mereka lenyap hanya dalam semalam.

Para celeng tentu tak peduli sebab urusannya dengan perut, bukan dengan perasaan. Serupa celeng, para pencoleng menempatkan kepentingan pribadi menjadi hal utama. Tidak peduli meskipun itu merusak keutuhan bangsa.

Sungguh sulit mengontrol luberan informasi, benar maupun bohong. Betapa menyenangkan bila informasi adalah benar, tapi spontan akan meletupkan kemarahan bila informasi bohong. Jujurlah, bahwa kesabaran ada batasnya.

Dan para celeng, terutama yang oleng, lebih tak peduli lagi. Rekan serombongannya pun akan ditumbangkan sebelum ia sendiri benar-benar tumbang mencium tanah. Seolah hendak menyampaikan pesan tak sudi tumbang sendiri. Sejatinya, celeng oleng akan menghantam siapa pun, yang dekat maupun yang jauh, saudara sedarah maupun bukan, sesama celeng maupun bukan. Celeng oleng memusuhi semua.

Pencoleng jeli mendramatisasi celeng oleng. Membuatnya viral untuk merebakkan kegelisahan. Korban pun disasar untuk menjadi celeng oleng, membangun opini menjadikannya musuh bersama. Pencoleng pun memanen kepentingannya.

Celeng oleng memecah masyarakat hingga turut oleng. Pada saat itulah para pencoleng menang. Sudah tentu energi dan sumber daya terkuras untuk menyeimbangkannya kembali. Masyarakat pun terabaikan.

Pencoleng berjiwa celeng tidak mengenal teman atau lawan. Ia akan mengobrak-abrik sekitarnya. Di luar dirinya adalah lawan. Temannya adalah dirinya sendiri.

Pada masyarakat modern, 24 jam sehari seolah kurang. Waktu menjadi mahal. Kesempatan mengecek kebenaran informasi yang masuk menjadi sedikit. Tidak heran bila sebuah berita tetap ada yang meyakini, sekonyol apa pun itu.

Oleng adalah keseimbangan yang melimbungkan. Oleng jadi berkat sekaligus bencana. Berkat karena menjadi penguji keutuhan sebuah bangsa, namun jadi bencana bila berujung tumbang.

Menyeimbangkan oleng membutuhkan napas yang kuat. Indonesia boleh oleng tapi tumbang jangan. Indonesia akan menemukan keseimbangan baru setelah oleng. Sesungguhnya berterima kasihlah pada oleng karena membuka jalan menuju keseimbangan baru. Tapi jangan sampai tumbang. Karena yang tumbang mungkin akan berakhir di piring makan.

 

Paulus Simangunsong

(gambar ilustrasi oleh: Toni Malakian)

Tulisan di atas merupakan kolom ragam pada pertunjukan Indonesia Kita: Celeng Oleng