Akhirnya diteken juga pengakuan kedaulatan (soevereiniteitsoverdracht) RI oleh Ratu Juliana di istana Op de Dam, Amsterdam, Belanda pada 27 Desember 1949. Begitulah perang revolusi pun berakhir. Masyarakat berbondong-bondong pindah mengikuti pemerintah yang kembali dari Jogjakarta ke Jakarta. Gembira sebab tiba waktunya dapat memulai hidup normal. Salahsatunya berkeluarga. Tidak aneh jika kemudian di Jakarta bermuculan tempat-tempat mencari jodoh.

Saking maraknya orang mencari jodoh bahkan Museum Nasional dijuluki Gedung Jodoh. Sebab lebih banyak dikunjungi pencari jodoh ketimbang yang hendak melihat arca. Tetapi, tetap yang paling kesohor Kalijodo. Komikus Ganes TH pun sampai bikin komiknya, Kalidjodo. Ganes melukiskan asal-usul Kalijodo yang semula bernama Kali Baru, kemudian lantaran kisah Hardi yang menemukan Marniah sebagai jodohnya di daerah itu dan mampu melewati segala ujian yang hendak memutus jodoh mereka, maka penduduk menyebutnya Kalijodo.

“Fajar telah menyingsing di ufuk timur, Hardi dan Marniah segera meninggalkan kali itu, menuju hidup baru,” begitu Ganes menutup komiknya. Di kota baru Jakarta ratusan ribu ‘Hardi’ dan ‘Marniah’ pada awal 1950-an berharap bukan saja akan berjodoh di antara mereka, tetapi juga berjodoh dengan kota yang dicita-citakan proklamasi, yaitu kota yang berkeadilan, mendatangkan kesejahteraan, memberi keselamatan, ada rasa kebersamaan dan manusiawi. Bukan lagi kota kolonial yang angkuh dan hanya memenuhi mimpi-mimpi kaum aristokrasi uang serta politiknya. Pemerintah menjanjikan memenuhinya via rencana-rencana ambisius pembangunan.

Tetapi, itu tidak mudah sebab Jakarta yang pada akhir 1949 berpenduduk 1.174.252 jiwa dengan cepat pada 1951 membengkak menjadi 1.782.000 jiwa. Komposisi etnik Jakarta semakin kompleks. Begitu pula persoalan-persoalan yang ditimbulkannya. Gelombang manusia ini memberi beban berat bagi Jakarta karena fasilitas-fasilitas yang ada hanya warisan masa sebelum kemerdekaan yang direncanakan pemerintah kolonial hanya untuk penduduk 600.000 sampai 800.000 jiwa.

Alhasil permukiman liar membludak. Tidak mengherankan jika Krisis menjadi salahsatu film paling populer saat itu mengambil tema permasalahan sosial sehari-hari yang diakibatkan perumahan padat di Jakarta. Firman Lubis dalam memoarnya Jakarta 1950-an menyimpulkan dekade itu sebagai, “kenangan situasi melebarnya perbedaan antara yang kaya dan yang miskin.” Firman menyebut gap sosial ekonomi yang tadinya lebih banyak terjadi antara bangsa penjajah dan yang dijajah, kemudian menjadi perbedaan antara bangsa sendiri yang tersimbolisasi dalam ungkapan sohor zaman itu ‘orang gedongan’ dan ‘orang kampung’.

Zaman berganti, Sukarno dijatuhkan dan Soeharto naik tetapi gap sosial tidak hilang. Malahan semakin kentara dan Jakarta telah menjadi kota yang asing serta angkuh. Wajah angkuh Jakarta itu terutama diperlihatkan kepada yang ‘orang kampung’ itu. Mereka merespons melalui kebudayaan rakyat baru yang muncul dari dunia orang kampung yang miskin  itu. Berlatar musik gambang kromong dan omong Betawi pada awal 1970, Benyamin S, muncul dan menjadi bintang populer yang menyuarakan respon sikap bermusuhan kota terhadap kampung dalam ungkapan jenaka, “muka kampung rezeki kota”.

Tak selang lama Benyamin bersama Sjuman Djaya membuat film bareng Si Doel Anak Modern pada 1975. Sampai disini arus respon dari kampung mendapat daya yang lebih kuat untuk mengkritis kota yang semakin memusuhi kampung karena surplus ekonomi bom minyak. Benyamin tak hanya membela diri, tetapi menolak dan kapok dengan cara berkota modern Jakarta, “Doel gak betah di sini, Mak. Gak enak jadi anak modern, Mak.”

Melalui perjalanan Doel mengejar jodohnya, Nonon yang telah ia kenal sejak masih masa kanak-kanak, Sjuman mengemas sikap kritis terhadap Jakarta itu. Nonon pindah ke kota dan mejadi peragawati produk serta gaya hidup konsumerisme metropolitan. Situasi yang membuat Doel tak punya pilihan selain melepas atribut kampungnya, seraya mencebur ke dalam infrastruktur dan pranata sosial modern kota. Tetapi, Doel yang sudah total menaburi diri dengan simbol  kehidupan modern pada masanya—berambut kribo, berbahasa campuran Betawi-Inggris-Belanda, berdansa-dansi—akhirnya lelah dan gagal. Bahkan Nonon yang rela meninggalkan namanya yang asli dan memakai nama kota pun menyerah dan memilih mengejar balik jodohnya Benyamin.

Hampir bersamaan waktunya Rendra menyimpulkan fenomena yang digambarkan Sjuman dan Benyamin itu dalam sajaknya yang memotret pembangunan Jakarta: “Kita telah dikuasai satu mimpi untuk menjadi orang lain. Kita telah menjadi asing di tanah leluhur sendiri. Orang-orang desa blingsatan, mengejar mimpi, dan menghamba ke Jakarta. Orang-orang Jakarta blingsatan, mengejar mimpi dan menghamba kepada Jepang, Eropa, atau Amerika”.

Kini, sajak itu masih terasa gema kebenarannya. Entah mimpi apa yang dikejar, kepada siapa menghamba? Jakarta jelas telah berlari dan menghamba kepada yang salah bahkan sesat. Lalulintas pembangun Jakarta seperti kali raksasa tanpa ujung pangkal. Betapa jauh jodoh kota yang diidamkan. Sementara di tepi-tepinya dari rumah jutaan anak cucu para ‘Hardi’ dan ‘Marniah’ lagu Benyamin terdengar lagi: “tung alang-alang anak kodok di pinggir kali, rumah semata wayang digusur kemane lagi”.

 

JJ Rizal

(gambar ilustrasi oleh: Toni Malakian)

Tulisan di atas merupakan kolom ragam pada pertunjukan Indonesia Kita: Komedi Tali Jodo