Ungkapan “Sinden Republik” kali ini, tentu maksudnya mengkaji posisi sinden dalam bentang musikal negara Republik Indonesia. Dalam konteks proses “menjadi Indonesia” itulah seni sinden perlu mendapat posisi yang tepat.

Istilah sinden yang dikenal dalam seni musik tradisional Jawa, khusus mengacu kepada vokalis solo wanita. Ungkapannya bersifat melantunkan melodi frasa-frasa pendek yang dipaparkan menyela di antara nada-nada pokok suatu komposisi musikal pada orkestra gamelan.

Seni sinden dapat dikaji dari segi teknik bernyanyi, yang tidak sepenuhnya sama dengan teknik bernyanyi seriosa atau “klasik barat”. Hal itu menjadi ciri khas sekaligus ragam kekayaan olah suara sinden. Apa yang dilantunkan pesinden adalah intepretasi atas frasa-frasa melodik dalam suatu komposisi karawitan. Lantunan nada yang dihasilkan pun beragam. Dalam hal ini, satuan frasa melodik yang sama dapat memperoleh tafsir sindenan yang berbeda oleh masing-masing pesinden.

Selain teknik bernyanyi, para pesinden juga melengkapi diri dengan kemahiran menari. Kedua unsur itu, nyanyian dan tarian, lumrah dijumpai dalam pertunjukan tari Gambyong, dengan nama generik lebih tua, runggeng (ronggeng), yang sangat populer di kalangan rakyat.

Menurut tradisi lisan yang penyebarannya sangat luas di antara pengemban seni tari Jawa, menyebut bahwa gambyong semula merupakan nama seorang waranggana (pesinden) yang tariannya amat indah dan lincah. Nama lengkapnya Mas Ajeng Gambyong yang hidup di masa Paku Buwana IX, sedangkan tariannya disebut dengan Glondrong.

Istilah Gambyong sejatinya telah termuat sebagai nama jenis tarian dalam Serat Cabolang dan Serat Centhini yang digubah atas prakarsa Sunan Paku Buwana V, jauh sebelum masa hidup Mas Ajeng Gambyong.

Tari Gambyong merupakan ungkapan keluwesan wanita, yang melagukan lirik yang bersifat erotik dan gerak tari yang mengundang perhatian penonton. Mereka kerap berkeliling kampung, ke pasar, atau pusat keramaian untuk mengamen (tledhek barangan).

Dalam perkembangannya, tari Gambyong diperhalus berdasar kaidah tari keraton, yang puncaknya terjadi ketika Nyi Bei Mintoraras menyusun tari Gambyong Pareanom pada 1950.  Bentuk tarinya telah dibuat baku. Dari susunan, iringan tari, rias, dan busana tari Gambyong Pareanom sangat berbeda dengan tari Gambyong sebelumnya yang kerap pentas berkeliling (ngamen). Seni sinden sudah tak lagi muncul dan berangsur menghilang dalam tari Gambyong.

Bercermin pada proses tranformasi tari Gambyong yang mengalami “penghalusan” ketika diangkat menjadi kesenian istana, apakah hal serupa mungkin terjadi pada seni sinden.

Bangsa Indonesia memiliki suku-suku bangsa yang masing-masing mendukung warisan budayanya sendiri. Masing-masing suku bangsa itu pun telah mengembangkan seni dan teori musiknya sendiri. Dalam kaitan itu tidaklah mengherankan jika berbagai suku bangsa itu telah mengembangkan musik dengan sistem nadanya masing-masing. Seni karawitan Jawa dengan sistem nada slendro-pelog misalnya, hanyalah satu di antara yang banyak itu.

Kini, dalam konteks “meng-Indonesia”, berbagai seni etnik yang ada di Indonesia perlu juga mengalami proses “menasional”. Hal ini dapat diartikan bahwa yang bermacam-macam itu “dipergaulkan”. Berbagai pendukung dan pelaku seni etnik yang bermacam-macam itu perlu dimudahkan untuk saling mengenal banyak macam ungkapan budaya dari berbagai suku bangsa. Sesudah mengenal dengan kedalaman yang cukup, dapat diharapkan saling mencintai budaya antar-suku. Antara lain seni sinden dapat disiarkan sebagai jembatan budaya.

 

Edi Sedyawati

(gambar ilustrasi oleh: Toni Malakian)

Tulisan di atas merupakan kolom ragam pada pertunjukan Indonesia Kita: SInden Republik