Kiprah orang-orang batak mewarnai alur sejarah Indonesia. Tercatat Jong Bataks Bond pada peristiwa Sumpah Pemuda 1928 turut mengikrarkan satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa. Seorang dari mereka, Amir Sjarifoeddin Harahap, kelak jadi perdana menteri dengan Ir. Soekarno sebagai presiden. Frederich Silaban, arsitek yang merancang Masjid Istiqlal, mewariskan ciri khas pada gedung-gedung karyanya. Pun ada Lafran Pane mendapat anugerah pahlawan nasional di tahun 2017.

Teramat panjang menuliskan daftar keturunan Batak yang berperan aktif memperjuangkan, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan bangsa ini. Mereka berjuang bukan karena Batak-nya, tapi rasa cintanya terhadap Indonesia. Batak 100% dan Indonesia 100%.

Suku Batak terdiri dari sub-etnik Toba, Karo, Pakpak, Simalungun, Angkola, Mandailing. Hidup berdampingan dengan damai dan terikat oleh adat yang dijunjung tinggi. Kekerabatan yang akrab ini terbawa hingga di tanah perantauan. Tidak heran jika satu anak Batak masuk ke daerah baru, dia akan mencari Batak yang lain. Dekat dengan teman seetnis, tapi terbuka juga dengan suku-suku lain.

Keterbukaan ini terbukti dari perjuangan Sisingamangaraja ke-12 bekerja sama dengan pejuang-pejuang dari tanah Aceh melawan Belanda. Bukan hanya keterbukaan terhadap lingkungan sosial, tapi juga terhadap ilmu pengetahuan baru.

Sejak masuknya ilmu pengetahuan modern, pemuda-pemudi Batak bersemangat mempelajarinya. Bahkan, bila merasa kurang, mereka mendatangi langsung lembaga yang paling mumpuni di manapun itu. Tak heran jika sebelum kemerdekaan, anak-anak Batak sudah menuntut ilmu ke Pulau Jawa, bahkan Belanda. Sikap ini terbawa hingga generasi sekarang. Lihatlah lembaga-lembaga pendidikan terbaik di negeri ini menjadi tujuan anak-anak Batak.

Dorongan untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya terekam dalam pepatah Batak warisan nenek moyang. Ijuk di para-para, hotang di parlabian. Nabisuk nampuna hata, naoto tu panggadisan. Artinya, orang bijak akan memimpin, orang bodoh akan terbuang.

Satu hal lagi yang sangat mengemuka dari orang Batak adalah kejujuran. Mungkin inilah salah satu kiat sukses orang Batak berbaur dengan beragam suku di Nusantara. Nilai ini bertolak dari pesan orang tua sebelum memberangkatkan anak-anaknya ke perantauan, entah itu menuntut ilmu atau mencari penghidupan lebih baik. Bilang A kalau A dan B kalau B. artinya, hubungan pertemanan, hubungan saudara, bukanlah menjadi dasar untuk menetukan penilaian kebenaran, tapi kebenaran itu sendiri. Tidak ada kompromi untuk menyatakan kebenaran.

Terkadang memang melahirkan polemik ketika kejujuran diungkapkan dengan lantang. Tapi itulah Batak, ia tidak menyimpan kebohongan demi keuntungan pribadi atau kelompok.

Sayangnya kejujuran belakangan ini menjadi langka. Lihatlah berita di media cetak dan elektronik! Korupsi jadi berita di halaman muka. Ironisnya pelakunya bermarga. Itukah Batak kita?

Batak itu berani? Ya. Sanggup menghadapi tantangan adalah kelebihan lain orang Batak. Meskipun berat akan tetap dilakoni hingga betul-betul tidak sanggup. Jujur mengakui kegagalan, tidak berargumen hanya demi mempertahankan posisi dan kenyamanan.

Keberanian mengritik demi kebaikan juga menonjol di orang Batak. Bertolak dari kejujuran tadi, kalau tidak suka akan bilang tidak suka, tidak bermanin-manis menutupi perasaan. Sikap ini mungkin saja tumbuh di dalam keluarga Batak ketika berkumpul di malam pergantian tahun. Tepat jam 12.00, keluarga berkumpul membuat sesi saling memberi nasihat. Anggota keluarga boleh memberi nasihat kepada siapapun yang meriung di malam itu. Bahkan anak boleh menasihati dan mengkritik orang tua. Tidak akan ada kemarahan. Semua menerima dengan baik nasihat dan kritik.

Kekerabatan, keterbukaan, kejujuran, dan keberanian, adalah nilai tambah Batak kita bagi Indonesia. Nilai yang sederhana ini pun terdapat di suku-suku lain di Nusantara, mudah diucapkan, tapi teramat sulit diterapkan dalam kehidupan. Namun tidak elok bila menyerah, sebab proses menjadi lebih baik butuh usaha dan perjuangan. Para pejuang telah merebut kemerdekaan dan mempersatukan yang berbeda-beda. Kita berjuang untuk mempertahankan dan mengisinya.

Saya sebagai Batak pun masih berjuang menjadi Batak. Saya Batak, lahir di tanah Batak (Pakkat Haugong), bikin pertunjukan Batak, dan sampai sekarang masih kurang Batak. Biarlah Batak kita ini tetap merasa kurang, maka kita akan selalu belajar dan kelak menjadi kesan. Misalnya, “Berpikirlah seperti orang Batak, berbicaralah seperti orang Sunda, dan bertindaklah seperti orang Jawa.” (Ali Sadikin, mantan gubernur DKI Jakarta)

 

Paulus Simangunsong

(gambar ilustrasi oleh: Toni Malakian)

Tulisan di atas merupakan kolom ragam pada pertunjukan Indonesia Kita: Preman Parlente